Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"The Paradise of Thorns", Ketika Ladang Durian Menjadi Sengketa Kepemilikan

27 September 2024   10:52 Diperbarui: 27 September 2024   15:44 1441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Gross Domestic Happiness (GDH) via Asian Lifestyle

Di tahun 2024 ini, setidaknya ada 2 film dari rumah produksi Thailand, GDH, yang filmnya rilis di layar lebar Indonesia. Yang pertama adalah Not Friends, yang menceritakan tentang persahabatan anak SMA. Sedangkan yang kedua ialah How To Make Millions Before Grandma Dies yang berhasil menjadi film Thailand terlaris sepanjang masa yang tayang di sini.

Ternyata tak sampai sana saja. Di negara asalnya, GDH kembali memproduksi satu film yang cukup menarik perhatian. Mengambil tema tentang "durian", film dengan judul The Paradise of Thorns ini rilis secara resmi di sana pada bulan Agustus lalu.

Sampai tulisan ini dibuat sebenarnya belum ada kabar resmi apakah film ini akan tayang juga di Indonesia atau tidak, karena di dalamnya terdapat isu sensitif yang kemungkinan akan jadi kontroversi. Tapi untungnya saya berkesempatan untuk menyaksikan film ini pada acara Jakarta World Cinema yang diadakan di CGV Grand Indonesia, Jakarta.

Sebagai informasi, JWC 2024 ini menghadirkan ratusan film dari puluhan negara yang tayang secara terbatas selama event ini berlangsung, yaitu tanggal 21-28 September ini. The Paradise of Thrones menjadi salah satu film yang tayang di sana, bahkan ditambah layarnya karena antusias penonton yang tinggi.

Karena kemarin sudah menonton filmnya, maka di tulisan kali ini saya akan mencoba memberi ulasan. Apalagi secara keseluruhan saya bisa mengatakan bahwa film ini adalah sebuah masterpiece. Yuk langsung simak di bawah ini.

SINOPSIS

Di sebuah desa di Thailand, yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota, sepasang kekasih Thongkam (Jeff Satur) dan Sek (Toey Pongsakorn) mengembangkan kebun durian yang lima tahun kebelakang dirawat bersama. 

Kebun luas berhektar-hektar itu kemudian mulai menunjukkan tanda-tanda berbuah. Thongkam dan Sek sangat senang dan dengan sepenuhi hati merawat kebun itu agar nanti bisa berhasil panen.

Suatu ketika Sek terjatuh dari pohon dan membuat kondisinya kritis. Namun sayang nyawa dia tak bisa diselamatkan. Kepergian Sek meninggalkan duka mendalam bagi Thongkam juga keluarga Sek. Sejak itu, Saeng sebagai Ibu Sek (Seeda Puapimon) tinggal di rumah milik Thongkam dan Sek, ditemani juga oleh Mo (Engfa Waraha) sebagai anak angkatnya.

Thongkam & Saek (image by Gross Domestic Happiness (GDH) via bento.me)
Thongkam & Saek (image by Gross Domestic Happiness (GDH) via bento.me)

Konflik muncul ketika Saeng dan Mo mulai membahas soal kepemilikian ladang durian tersebut, mengingat sertifikat tanah di sana atas nama Sek. Secara hukum karena Sek belum menikah, Saeng lah sebagai ibu yang berhak atas harta tersebut. Namun Thongkam tak bisa semudah itu memberikannya, apalagi yang merawat kebun ini selama bertahun-tahun adalah dirinya.

Upaya hukum dilakukan lewat pengadilan, namun tetap saja sertifikat tanah tersebut akhirnya dimiliki oleh Saeng. Thongkam sebagai "orang asing" tak berhak apa-apa lagi atas kebun luas itu. Bahkan ia terancam diusir dari tempat tinggal itu.

Thongkam harus memutar otak agar ia bisa merebut kembali tanah itu yang sudah susah payah dirawatnya bersama Thongkam, bagaimanapun caranya.

PEREBUTAN KEPEMILIKAN LADANG DURIAN

Sebagai manusia yang punya hawa nafsu, tentu banyak dari mereka akan serakah dan akan melakukan apapun demi mencapai keinginannya. Hal ini jugalah yang terjadi pada Thongkam dan Mo yang berusaha sebisa mungkin bersikap baik pada Saeng agar ibu Saek itu bisa mewariskan kembali ladang durian pada salah satu dari mereka.

Betapa licik dan kotor dari cara yang mereka gunakan menjadi daya tarik yang akan membuat emosi penonton tersulut. Belum lagi ketika Jingna (Keng Harit Buayoi) datang ke kehidupan mereka. Ia adalah adik laki-laki Mo yang tentunya berada di pihak Mo. Suasana semakin kacau karena Jingna tak bisa merawat kebun durian.

Image by Gross Domestic Happiness (GDH) via IMDb
Image by Gross Domestic Happiness (GDH) via IMDb

Karena hanya Thongkam yang punya pengalaman dan keahlian dalam merawat ladang durian yang sangat luas itu, maka mau tak mau ia harus tetap tinggal karena di antara mereka tak ada lagi yang bisa merawatnya dengan baik.

Konflik semakin panas ketika masing-masing karakter punya tujuannya tersendiri. Mulai dari Thongkam, Mo, Saeng, hingga Jingna.

ROMANSA DAN RAHASIA DALAM ISU SENSITIF

Yang membuat saya nekad untuk menonton film ini karena masih belum yakin jika film The Paradise of Thorns akan rilis di layar lebar Indonesia (mungkin bisa di layanan streaming), karena di dalamnya ada isu sensitif yang belum tentu diterima oleh masyarakat sini.

Ya betul, ini berkaitan dengan fenomena LGBT yang sudah jadi hal lumrah bakal dilegalkan di Thailand. Seperti yang diketahui bahwa tokoh utama Thongkam dan Sek adalah laki-laki yang di mana mereka punya hubungan layaknya orang biasa berpacaran. Bahkan beberapa adegan "dewasa" di sini cukup diperlihatkan secara eksplisit yang membuat saya kaget dan berpikir bahwa film ini memang cukup berani.

Tak heran juga bahwa rating The Paradise of Thorns adalah 21+ yang mana memang tak bisa ditonton oleh sembarangan orang.

Image by Gross Domestic Happiness (GDH) via IDN Times
Image by Gross Domestic Happiness (GDH) via IDN Times

Jika dilihat dari sisi romansanya, awalnya film ini punya cerita yang manis. Namun, seiring berjalannya alur ternyata banyak rahasia yang selama ini disembunyikan dan diungkapkan satu persatu. Membuat penonton emosi, kaget, juga miris.

Sebagai disclaimer, meskipun memang hubungan sesama pria ini melatarbelakangi cerita, tapi itu tidak akan mendominasi. Perebutan harta gono-gini ladang durian inilah yang tetap jadi fokus utama.

BELAJAR MERAWAT POHON DURIAN

Buah durian memang jadi buah khas di Asia Tenggara, terutama bagi negara seperti Indonesia, Malaysia, juga Thailand. Selama ini mungkin kita hanya langsung mengkonsumsinya tanpa tahu bagaimana proses pembuahan dan tumbuh kembangnya di pohon. Nah, ternyata di film ini penonton akan diberikan sedikit edukasi tentang bagaimana cara merawat pohon durian.

Image by Gross Domestic Happiness (GDH) via Asian Lifestyle
Image by Gross Domestic Happiness (GDH) via Asian Lifestyle

Mulai dari awal mula ketika berbunga, dibuahi, hingga jadi durian kecil yang kemudian membesar. Perawatan seperti penyiraman air juga pestisida pun akan dibahas sekilas tapi tetap menambah ilmu pengetahuan.

Tak sampai sana saja. Di sini pun akan dijelaskan bagaimana strugle ketika durian-durian sudah bisa dipanen. Seperti mencari pembeli, datang ke pasar-pasar, hingga melakukan tawar-menawar untuk mencapai kesepakatan harga.

Setelah dipikir-pikir, memang tak mudah juga ya jika membayangkan punya kebun durian yang luas.

AKTING EPIK DENGAN KLIMAKS MEMUASKAN

Film ini tak akan membuat saya terkesan tanpa akting para aktor dan aktris di dalamnya. Sebagai debut filmnya, penyanyi Jeff Satur berhasil memerankan karakter Thongkam dengan baik. Bahkan ada beberapa adegan di mana ia harus mencukur rambut serta alisnya. Benar-benar totalitas.

Akting Engfa Waraha sebagai Mo yang berambisi memiliki kebun durian ini pun sangat layak mendapat apresiasi karena aktingnya yang sukses bikin darah tinggi. Tokoh Mo yang terlihat jahat namun sebenarnya rapuh dan penuh beban bisa dirasakan langsung oleh penonton.

Jeff Satur dan Engfa Waraha yang berhasil memerankan karakternya masing-masing (image by Sanook)
Jeff Satur dan Engfa Waraha yang berhasil memerankan karakternya masing-masing (image by Sanook)

Dan tentunya sebuah film tak akan sukses jika tak memiliki klimaks. The Paradise of Thorns punya klimaks penting dan menegangkan di 20 menit terakhir film yang jadi bagian akhir bagaimana emosi penonton akan diacak-acak. Saya tak akan melupakan juga saat film berakhir, semua penonton di studio kompak memberi tepuk tangan.

...

Nah itu tadi ulasan untuk film The Paradise of Throns yang saya tonton di Jakarta World Cinema 2024. Kita lihat saja ke depan apakah film ini bisa rilis secara resmi di Indonesia, atau justru hanya tayang di platform streaming seperti Netflix?

Untuk skor film ini jika diambil dari situs IMDb ialah sebesar 7.8/10 sampai tulisan ini dibuat. Sementara itu di mydramalist skornya sebesar 8.4/10. Sedangkan saya pribadi dengan berani memberikan skor hingga 9.5/10 karena memang sekeren itu filmnya. Bahkan saya bisa mengatakan bahwa film ini adalah film terbaik dari semua yang pernah saya tonton di tahun 2024.

Nah, Kompasianer pasti penasaran juga kan dengan cerita ini? Yuk kita tunggu saja sampai ada kabar selanjutnya akan di mana film ini tayang.

Akhir kata, terima kasih sudah mampir. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya!

-M. Gilang Riyadi, 2024-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun