Jika dilihat dari sisi romansanya, awalnya film ini punya cerita yang manis. Namun, seiring berjalannya alur ternyata banyak rahasia yang selama ini disembunyikan dan diungkapkan satu persatu. Membuat penonton emosi, kaget, juga miris.
Sebagai disclaimer, meskipun memang hubungan sesama pria ini melatarbelakangi cerita, tapi itu tidak akan mendominasi. Perebutan harta gono-gini ladang durian inilah yang tetap jadi fokus utama.
BELAJAR MERAWAT POHON DURIAN
Buah durian memang jadi buah khas di Asia Tenggara, terutama bagi negara seperti Indonesia, Malaysia, juga Thailand. Selama ini mungkin kita hanya langsung mengkonsumsinya tanpa tahu bagaimana proses pembuahan dan tumbuh kembangnya di pohon. Nah, ternyata di film ini penonton akan diberikan sedikit edukasi tentang bagaimana cara merawat pohon durian.
Mulai dari awal mula ketika berbunga, dibuahi, hingga jadi durian kecil yang kemudian membesar. Perawatan seperti penyiraman air juga pestisida pun akan dibahas sekilas tapi tetap menambah ilmu pengetahuan.
Tak sampai sana saja. Di sini pun akan dijelaskan bagaimana strugle ketika durian-durian sudah bisa dipanen. Seperti mencari pembeli, datang ke pasar-pasar, hingga melakukan tawar-menawar untuk mencapai kesepakatan harga.
Setelah dipikir-pikir, memang tak mudah juga ya jika membayangkan punya kebun durian yang luas.
AKTING EPIK DENGAN KLIMAKS MEMUASKAN
Film ini tak akan membuat saya terkesan tanpa akting para aktor dan aktris di dalamnya. Sebagai debut filmnya, penyanyi Jeff Satur berhasil memerankan karakter Thongkam dengan baik. Bahkan ada beberapa adegan di mana ia harus mencukur rambut serta alisnya. Benar-benar totalitas.
Akting Engfa Waraha sebagai Mo yang berambisi memiliki kebun durian ini pun sangat layak mendapat apresiasi karena aktingnya yang sukses bikin darah tinggi. Tokoh Mo yang terlihat jahat namun sebenarnya rapuh dan penuh beban bisa dirasakan langsung oleh penonton.
Dan tentunya sebuah film tak akan sukses jika tak memiliki klimaks. The Paradise of Thorns punya klimaks penting dan menegangkan di 20 menit terakhir film yang jadi bagian akhir bagaimana emosi penonton akan diacak-acak. Saya tak akan melupakan juga saat film berakhir, semua penonton di studio kompak memberi tepuk tangan.