Siapa di sini yang sering kesal karena harus membayar parkir saat pergi ke suatu tempat?
Bisa di supermarket pinggir jalan, ATM, kafe kekinian, bahkan hingga sebuah warung sederhana sekalipun.
Rasanya menyebalkan karena harus mengeluarkan uang setidaknya 2000 rupiah hanya untuk waktu yang bisa dibilang sebentar.
Kompasianer tidak sendirian kok, karena saya pun merasakan hal sama dan lebih memilih tempat yang lebih jauh tapi tidak ada tukang parkirnya.
Memang sih jumlahnya tak seberapa. Tapi kalau dipikir-pikir lebih jauh lagi mereka (tukang parkir) itu justru punya pendapatan fantastis yang bisa jadi lebih besar dari pendapatan utama kita.
Kekesalan inilah yang membuat saya tertarik untuk membahas ini lebih dalam. Mulai dari kenapa harus ada tukang parkir, ke mana uang yang kita bayarkan, dan pengaruhnya pada berjalannya sebuah usaha.
Menulis ini pun sebenarnya tidak sekadar dari opini saya, melainkan juga berhubungan dengan penelitian Tugas Akhir yang saya lakukan di tahun 2017 dengan mengambil tema retribusi parkir.
PARKIR RESMI DAN RETRIBUSI YANG HARUS DIBAYAR
Tahukah Kompasianer bahwa tukang parkir itu ada yang resmi dan tidak resmi?
Di mana tukang parkir resmi dibawahi langsung oleh Dinas Perhubungan (Dishub), sementara yang tidak resmi tidak dibawahi oleh Pemerintah Daerah setempat sama sekali.
Hal ini yang menyebabkan aliran uang parkir yang kita bayarkan ada yang masuk ke pemerintah sesuai dengan peraturan daerah yang berlaku, atau justru terjadi sebaliknya.