"Aku ke sini atas dasar teman, bukan soal FWB. Sampai sini paham?"
"Nggak usah mengalihkan pembicaraan. Ngaku aja kalau kamu beneran sayang sama aku. Dan tahu sendiri kan bahwa satu aturan penting dari pilar perjanjian kita adalah nggak boleh menyimpan perasaan satu sama lain."
Terlihat ada amarah dari sorot mata Jesi. Ia melangkah cepat ke kamar Adyan, mengarah ke laci di dalamnya untuk mencari sesuatu. Ketemu, ini perjanjian mereka. Adyan menyusul di belakang menebak apa yang akan dilakukan perempuan itu.
"Perjanjian ini maksud kamu? This fuck*ng agreement? Anggap aja aku memang melanggar dan perlu membayar denda," katanya penuh emosi sambil merobek lembaran kertas itu di hadapan Adyan.
***
Ini bulan kelima jika keduanya masih terikat pada perjanjian itu. Berada di ranjang sama menghabiskan waktu semalaman, berpeluk manja, hingga tertawa bersama tanpa perlu terbawa perasaan.
Tapi kini, sejak kejadian di rumah Adyan itu, mereka jadi seperti orang asing. Semua sama-sama menjalani aktivitas masing-masing seakan tak mengenal satu sama lain. Jesi bahkan sampai memblokir kontak Adyan saking tak ingin kenal dengan laki-laki egois tak tahu terima kasih itu.
Lalu di kafe tempat mereka membuat perjanjian itu pertama kali, tanpa disangka keduanya kembali bertemu pada pertemuan canggung setelah sebulan tanpa kabar.Â
"That was a mistake. I'm the fool one. Harusnya aku memahami ketulusan kamu saat itu," kata Adyan yang kini badannya mulai berisi lagi. Ada penyesalan yang tulus dari sorot mata itu.
"Terus mau kamu apa?"
"Can we go back and press reset? Sejak Albert meninggal, aku sadar bahwa nggak bisa hidup sendirian seperti ini selamanya."