Selain hangat dan manis, Isa Pa with Feeling berhasil membuat saya menitihkan sedikit air mata karena konsep ceritanya yang indah. Di sini penonton akan diajak untuk menyelami dunia tuli, seperti bagaimana cara mereka berkomunikasi (sesama tuli ataupun bukan) dan sudut pandang ketika melihat orang lain sedang bicara.
Tentu menjadi seorang Gali yang punya kekurangan seperti ini bukan hal mudah. Ia harus bisa menyesuaikan kehidupan Mara yang normal, apalagi ia tak bisa mendengar langsung ketika Mara sedang marah, senang, bahkan menangis.
Hal ini jadi insecurity bagi Gali yang harus melawan rasa ketidakpercayaandirinya untuk melangkah lebih jauh bersama Mara, apalagi sebenarnya dua-duanya punya perasaan yang sama. Klimaks di film ini pun masih terasa hangat apalagi ketika Mara terus mencoba untuk memahami kondisi Gali yang tak sempurna.
Kita pun sebagai penonton akan dapat pesan secara tak langsung bahwa di tengah kekurangan kita pasti akan ada seseorang yang menerimanya. Pun dari pandangan Mara, kita harus bisa menerima kekurangan pasangan kita jika memang benar-benar tulus menyayangi.
Meski begitu, masih ada sedikit kekurangan dari film ini di mana alurnya terasa terlalu pasaran untuk film sejenis. Mulai dari berkenalan-dekat-menyimpan rasa-konflik-hingga penyelesaian. Konsep seperti ini pun sebenarnya banyak ditemukan di film lokal, bahkan Barat.
***
Nah, kira-kira bagaimana ya akhir perjalanan cinta Mara dan Gali? Akankah keduanya bisa bersatu di tengah perbedaan yang begitu tinggi menghalangi? Jawabannya tentu harus menontonnya langsung di Netflix.
Film ini mendapat skor sebesar 7.8/10Â di IMDb sampai tulisan ini dibuat. Sementara itu saya memberikan nilai sebesar 7.5/10Â dengan beberapa pertimbangan di atas.
Untuk Kompasianer yang ingin tahu seperti apa ringkasan ceritanya, yuk simak trailer-nya di bawah ini:
Baiklah sekian dulu untuk ulasan film kali ini. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya ya!