Ada rasa bersalah pada tatapan kedua matanya. Ia lebih sering tertunduk, atau hanya sekadar melihat ke arah sekitar di mana orang-orang sedang bersantai di taman ini pada sore hari.
Banyak dari mereka yang mengikuti aturan untuk menggunakan masker. Tapi sebagian kecil lainnya justru dengan santai melakukan aktivitas tanpa alat pelindung itu. Ya setidaknya, aku dan Fano sepakat untuk menjaga jarak saat mengobrol, juga dengan menggunakan masker.
"Alisa, kamu perempuan baik. Aku yakin kamu akan menemukan pendamping hidup yang sama baiknya dengan kamu."
"Kalau aku perempuan baik, mana mungkin aku bisa jadi selingkuhan Mas Fano sampai setahun lebih?" tanyaku dengan senyum yang membungkamnya seketika.
Jadi, siapa yang salah di sini? Aku? Dia? Atau hubungan kami?
"Pada akhirnya, Mas memilih orang yang memang layak dipilih."
"Kita masih jadi teman baik, Sa," katanya memohon.
"Bukannya ini sudah final, Mas? Yang menang dia, perempuan yang sudah menemani Mas sejak 5 tahun lalu. Bukan aku, orang ketiga yang memaksakan dirinya masuk pada hubungan seseorang."
Aku rasa tak ada lagi yang perlu dibahas. Semua sudah jelas bahwa hubunganku dan Fano memang berakhir. Atau sebenarnya, sejak awal kisah ini sama sekali tak pernah dimulai.
Aku berdiri, memberi tanda bahwa akan pergi dari hadapannya. Bukan hanya untuk kali ini. Mungkin sampai besok, lusa, atau selamanya.
"Kita berhasil menutup rapat hubungan ini. Jadi, tetap rahasiakan semuanya agar pasangan Mas tidak terluka," kataku mengucapkan kalimat terakhir sebelum benar-benar pergi.