Apakah perjalanan waktu memang bisa dilakukan seseorang? Misalnya saja dia datang dari masa yang lain, lalu menemuiku di masa sekarang. Ah, aku tahu ini sebuah khayalan gila.Â
Tapi sikap laki-laki itu sejak aku mulai magang seakan pernah mengenalku sebelumnya. Ia tahu semua tentangku. Warna kesukaan, alergi makanan, bahkan hingga bekas luka bakar yang ada di bagian punggung -jelas itu tak terlihat.Â
Dari sikapnya pun terlihat bahwa ia tahu bagaimana cara berbicara denganku agar aku bisa merasa nyaman. Semua terlalu kebetulan untuk aku yang baru gabung di perusahaan ini selama satu bulan terakhir.
Ketika berbincang ringan dengan Ralin, salah satu karyawan di sini, laki-laki yang menjabat sebagai Supervisor itu belum menikah di usianya yang hampir menginjak angka kepala 4.Â
Katanya, lima tahun lalu ia sudah bertunangan dan hampir menikah. Sayangnya calonnya itu ternyata meninggal dalam sebuah kecelakaan. Informasi lainnya yang aku dapat adalah perusahaan ini jarang menerima anak magang karena dianggap tak berkompeten.Â
Tapi ketika tahu bahwa aku mendaftar ke perusahaan ini sebagai tempat PKL, dia langsung menyetujuinya. Aneh, bukan?
Cerita selanjutnya datang ketika aku beristirahat di kantin kantor sendirian. Dia tiba-tiba duduk di sebelahku sambil membawa segelas jus jambu yang sebenarnya adalah kesukaanku sejak lama.Â
Lagi-lagi orang itu berhasil mengetahui informasi yang sebenarnya tak pernah kubagi ke karyawan lain.
Lalu hari itu ketika aku terpaksa pulang telat karena memang kerjaan cukup banyak, hujan datang tanpa diundang mengguyur kota. Aku terjebak di sini bersama Ralin dan dua orang lainnya, termasuk dia.Â
Ralin dan kekasihnya yang memang satu divisi itu pada akhirnya pulang duluan dengan mobil. Sayang aku tak bisa ikut karena arah kami berbeda.Â
Aku sudah menghubungi Mark, pacarku di kampus, untuk menjemput. Tapi karena dia hanya mengandalkan sepeda motor, aku tak bisa memaksanya cepat datang sebelum hujan benar-benar reda.
"Marina, mau pulang bareng saya? Kayaknya hujan akan lama redanya," katanya menawarkan bantuan.
Aku tidak langsung menjawab karena sejujurnya masih merasa takut jika terus berduaan bersama orang menakutkan seperti ini.
"Gimana? Arah tempat tinggal kita nggak begitu jauh, kok."
"Bo-boleh, Mas," jawabku ragu karena tak memiliki pilihan lain, kemudian kembali memberi pesan pada Mark bahwa aku tak perlu dijemput.
"Jangan panggil Mas kalau udah di luar kerjaan. Panggil aja Surya."
Tak lama dari itu, aku dan Surya segera ke bawah menuju tempat parkir. Untung dia membawa payung sehingga kami tak perlu terlalu basah kuyup menerobos hujan.Â
Di dalam mobil, Surya membantu mengeratkan sabuk pengaman yang barusan sulit kupasang. Mata kami sempat bertemu dalam beberapa detik.Â
Saat itu juga aku merasa ada sesuatu dalam tatapannya yang bisa menghipnotisku. Rasanya benar bahwa aku pernah bertemunya di satu waktu yang lain. Tapi aku benar-benar tak bisa mengingatnya saat ini.
Mobil perlahan melaju menembus deras hujan, lalu memasuki tol dalam kota agar perjalanan lebih cepat. Di kesempatan itu, aku meliriknya sekali lagi meski Surya sedang fokus menyetir. Meski usianya hampir menginjak kepala 4, tapi rupanya masih gagah seperti usia 30 awal. Jika ditaksir dengan usiaku saat ini yang baru menginjak angka 20, berarti kami berbeda sekitar 19 tahun.
"Mas, boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku memberanikan diri, tetap memanggil Mas karena merasa tak enak dengan usia yang cukup jauh.
"Apa, Rin?"
"Apa kita pernah ketemu sebelumnya?"
Tatapannya yang semula biasa saja, kini tersenyum seakan senang bahwa aku mulai menyadari sesuatu. Ia menatapku sebentar, kemudian kembali fokus di jalanan yang masih hujan.
"Ya, kita pernah ketemu. Bahkan sangat akrab."
***
Hujan sudah benar-benar reda. Surya sudah menghentikan mobilnya di depan rumahku, tapi diri ini seakan membeku dan tak mampu untuk melakukan gerak.Â
Semua yang ia ceritakan di perjalanan benar-benar menenggelamkanku pada lamunan tanpa akhir. Aku benar-benar tak menyangka bahwa lebih dari 15 tahun lalu kita pernah bertemu.
Ibuku memang seorang single parent. Ayah kandungku sudah lama pergi bahkan sejak aku masih berusia 3 tahun. Mereka bercerai, sampai lima tahun kemudian Ibu bertemu dengan pasangan hidupnya yang baru.Â
Mereka menikah dan bahagia meski aku harus hidup dengan Ayah tiri. Namun, maut yang akhirnya memisahkan keduanya. Ayah tiriku mendadak kena serangan jantung yang membuat nyawanya tak terselamatkan.
Dan Surya, laki-laki ini, adalah orang yang dulu sekali pernah menyukai Ibuku. Berawal dari pertemuan pertama mereka di SMA tahun 1996.Â
Surya adalah siswa baru, sementara Ibu adalah senior yang usianya 2 tahun lebih tua. Laki-laki itu sempat menyatakan cinta, namun ditolak secara halus karena memang dia bukanlah tipe Ibuku.
"Saya tahu waktu itu ibu kamu sudah menikah, sampai kamu lahir. Saya juga mendapat kabar kalau orang tua kamu terpaksa bercerai," kata Surya ketika kami masih di perjalanan. "Lalu tanpa sengaja, kami bertemu lagi ketika usia kamu 5 tahun. Mungkin usia saya sekitar 24 saat itu yang baru lulus kuliah.
"Lalu Ratna, ibu kamu itu, sering menitipkan kamu pada saya ketika dia bekerja. Saya menjaga dan sering mengajak kamu jalan-jalan di sela pekerjaan saya yang saat itu masih freelance.Â
Saya jelas tahu apa makanan kesukaan kamu, alergi, sampai hal-hal kecil yang orang lain nggak tahu. Dan saya nggak nyangka akan bertemu kamu, apalagi saat melihat nama kamu yang jelas-jelas tak asing bagi kehidupan saya."
Ternyata itu semua jawaban dari semua pertanyaanku selama ini. Sekilas aku memang bisa mengingat kenangan dari peristiwa yang diceritakan, terutama saat aku menangis di sebuah acara pasar malam.Â
Kemudian seorang laki-laki menenangkanku dan memberiku permen gulali warna-warni. Tak kusangka ternyata laki-laki yang dulu itu, yang juga ternyata pernah merawatku meski sesaat, adalah Surya.
"Hei! Udah sampe nih. Nggak perlu shock gitu." Surya mengguncang bahuku.
"Mas, nggak mau mampir dulu?" Tanyaku pelan-pelan.
"Lain kali, deh. Salam ya buat Ibu kamu."
Aku turun, melihat mobilnya kemudian melaju menjauhi tempat aku berdiri.
***
Mark mengantarku pagi itu ke kantor sebelum ia menuju tempat magangnya. Di parkiran, aku bertemu kembali dengan Ralin bersama kekasihnya.Â
Kami bertiga menuju lantai 4 gedung ini sambil sesekali membicarakan soal Mark yang dua tahun ini menemaniku dalam hubungan yang spesial.Â
Begitu sampai di kursi masing-masing, aku mengeluarkan sebuah kotak bekal dari dalam tas, lalu berjalan pelan menuju ruangan Surya yang tak jauh dari sini. Di sana ia masih cukup santai di depan komputer dengan balutan kemejanya yang rapi.
"Setiap pagi nyaris nggak pernah sarapan. Gimana bisa kerja bener?" tanyaku yang langsung masuk tanpa duduk di tempat yang disediakan.
Surya hanya ternyum simpul dan menanyakan ada urusan apa sepagi ini aku datang.
"Ini ada roti dengan selai kacang dan coklat, ditambah susu kaleng rasa vanila." Aku meletakan bekal makanan dan sekaleng susu di atas mejanya.
"Bentar, ini semua kan kesukaan saya. Kok bisa kamu..."
"Itu semua dari Ratna," jawabku memotong pembicaraannya. "Harus habis, katanya."
Aku keluar ruangan, meninggalkan Surya yang masih senyum sendiri menatap bekal yang Ibu siapkan pagi tadi.
Denting Rahasia pada Jeda Waktu Berbeda - Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H