Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memahami Empati Sederhana Ketika Mendengar Kabar Duka

10 Januari 2021   13:04 Diperbarui: 10 Januari 2021   13:06 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin, ada beberapa kabar duka yang saya dapatkan. Pertama, jelas tentang jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 dengan jurusan Jakarta-Pontianak. Lalu di kota asal saya, Bandung, terjadi juga banjir di beberapa titik. Terakhir di kota tempat saya tinggal saat ini, Sumedang, terjadi bencana longsor yang sampai memakan korban jiwa. Bahkan longsor ini terjadi dua kali di hari yang bersamaan.

Sedih rasanya. Tentunya pun saya mengucapkan duka cita mendalam pada kepergian korban. Semoga juga keluarga yang ditinggalkan dapat diberi ketabahan atas peristiwa ini.

Bicara soal kabar duka, sadarkah Kompasianer bahwa ada beberapa etika sederhana yang bisa diterapkan ketika mendengar kabar duka seperti ini? Ada sedikit empati yang paling tidak harus kita berikan. Karena sedikit saja menanggapi kabar duka dengan cara yang tak seharusnya, justru bisa menyakiti keluarga korban, bahkan bisa juga mempermalukan diri sendiri apabila diunggah ke sosial media.

Hal ini sebenarnya saya sadari ketika melihat trending Twitter soal jatuhnya pesawat Sriwijaya Air tadi. Ternyata masih ada beberapa orang yang tak bisa memberi respons positif atas terjadinya peristiwa ini. Maka, saya akan merangkum empati sederhana seperti apa yang bisa kita terapkan.

1. Jangan Menyebarluaskan Foto Korban!

Karena saya tinggal di Sumedang, informasi soal longsor yang terjadi di daerah Cimanggung, Sumedang kemarin cepat terdengar melalui broadcast WA hingga perbincangan orang sekitar. Saya tahu bahwa kejadian ini sampai memakan korban jiwa. Namun yang sedikit saya sayangkan adalah ketika salah satu rekan kerja saya dengan santainya memperlihatkan foto korban pada saya melalui ponselnya.

"Lihat Pak, ini jasad korban yang meninggal kemarin."

Duh, saya bukannya takut lihat gambar mayat. Tapi, rasanya kurang etis saja hal-hal yang sebenarnya privat itu justru dikonsumsi oleh orang banyak. Maka ketika teman saya memperlihatkan foto itu, dalam sekejap saya langsung memalingkan wajah.

Jika Kompasianer mengalami hal serupa dalam kasus apapun itu, cobalah untuk tidak menyebarluaskan foto korban, dan buatlah broadcast itu berhenti di kamu. Tidak perlu juga mengunggahnya di media sosial agar terlihat memiliki empati. Belum lagi jika orang yang melihatnya memang takut melihat gambar mayat atau darah (jika pada kasus kecelakaan). Itulah sebabnya kita harus bisa mengontrol diri soal apa yang bisa disebarluaskan dan tentang apa yang cukup jadi konsumsi pribadi.

2. Bukan Waktunya Bercanda

Sebagai pengguna aktif twitter, tentu saya mengikuti apa saja hal yang sedang trending dan banyak dibicarakan orang saat itu. Selain soal jatuhnya pesawat, ternyata ada juga contoh orang yang kurang memiliki empati dalam menanggapi berita ini. Niatnya sih mungkin memang bercanda, tapi saya rasa di suasana duka seperti bukan waktunya lagi untuk bercanda seperti ini.

image by twitter| screenshoot dokpri
image by twitter| screenshoot dokpri
image by twitter| screenshoot dokpri
image by twitter| screenshoot dokpri
image by twitter| screenshoot dokpri
image by twitter| screenshoot dokpri
image by twitter| screenshoot dokpri
image by twitter| screenshoot dokpri
Nah kan, kesannya justru mereka hanya mencari panggung dan perhatian di atas kabar duka ini. Ayolah, kecelakaan seperti ini kan memakan korban yang tak sedikit, kok masih bisa-bisanya dibawa ke arah bercanda? Jangan sampai juga malah berlindung di balik dark humor. Seriously, that's totally not funny.

Apa yang akan didapat jika kita berbuat hal ceroboh seperti itu? Tentu saja hujatan netizen. Yang saya lihat, banyak netizen menghujat akun-akun seperti ini, sampai akun yang bersangkutan harus tutup akun. Ya saya sih tidak membenarkan perilaku hujat menghujat seperti itu, hanya saja memang ada konsekuensi sosial yang akan didapat.

3. Tidak Mengangkat Kesedihan Keluarga Korban

"Punya firasat nggak sih sebelumnya?"

Ah, inilah kata-kata yang sering terdengar ketika kita mendatangi keluarga korban. Beberapa orang sering mengaitkan kejadian suatu peristiwa ke hal-hal yang sebenarnya tak masuk logika. Ya sekalipun memang ada firasat yang beneran terjadi, bukankah niat kita mendatangi mereka untuk mengucap duka cita? Kita bukan ingin menggali kesedihan yang lebih dalam.

Cukup datang dan dengarkan mereka bercerita dengan sendirinya. Jangan juga mengungkit hal-hal tak penting di luar konteks duka cita.

Nah satu lagi, yang kadang saya sayangkan adalah sikap beberapa media yang juga mengangkat kesedihan keluarga korban demi mendapat viewers yang banyak. Misalnya saja bertanya, "Bagaimana sosok Bapak di keluarga ini?" Ya, saya nggak bisa bilang ini salah satu tidak karena saya pun bukan orang media. Tapi setidaknya tetap melakukan pekerjaan dengan kode etik yang berlaku.

Dan tak jarang juga lho beberapa jurnalis sengaja membuat judul clickbait dan isi berita yang di luar konteks yang seharusnya.

***

Nah, itulah beberapa etika sederhana yang bisa kita terapkan ketika mendengar kabar duka, baik itu terjadi pada kehidupan sendiri ataupun terjadi pada kehidupan orang lain. Kompasianer juga bisa share di kolom komentar seperti apa sajakah yang sekiranya bisa kita lakukan untuk menghormati kabar duka seseorang/

Akhir kata, sampai jumpa di tulisan selanjutnya!

M. Gilang Riyadi
Sumedang, 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun