Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Perihnya Putus, Bahkan Sebelum Memulai Hubungan

9 Januari 2021   22:25 Diperbarui: 9 Januari 2021   22:26 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada cerita patah hati yang tak biasa. Bagaimana jika kamu ada di posisi ini? Menyukai seseorang, lalu memendam perasaan itu dalam-dalam karena kamu pikir dengan tetap bersamanya sebagai teman sudahlah cukup. Suatu ketika, dia berubah perlahan. Tak ada komunikasi yang sebelumnya begitu intens, sampai akhirnya satu keputusan dibuat sepihak.

Berpisah, tidak lagi bisa seperti dulu, bahkan hanya untuk sebatas teman. Perasaan yang dulu dipendam bahkan belum tersampaikan. Dan sayangnya, kini kalian hanya sebatas orang asing. 

Ah, itu tadi hanya kata-kata puitis yang menjadi cerminan kisah saya. Ya, sekali-kali tidak apa kan curhat di sini hehe. Apalagi temanya pas dengan topik pilihan Kompasiana, yaitu  "Membaca Tanda-Tanda Berakhirnya Putus Dengan Pacar".

Jadi, saya pernah menyukai seorang perempuan. Kita pertama kenal sejak kelas 2 SMA di tahun 2012. Karena satu dan lain hal, saya dan dia bisa menjadi teman baik dan sering mengobrol soal apapun, termasuk soal asmara. Bahkan ketika ia putus dengan pacarnya kala itu, sayalah yang jadi orang pertama yang mendengar keluh kesahnya.

Bertahun-tahun kita bersahabat. Hanya berdua tanpa ada anggota lain di dalamnya. Meski kita tidak di satu tempat kuliah yang sama, namun komunikasi tak pernah terputus. Saya pun sering bermain ke kampusnya di kawasan Jatinangor, di mana saya kuliahnya di Kota Bandung.

Sampai akhirnya saya merasa ada yang berbeda dari hubungan ini. Saya masih menganggapnya sebagai sahabat, hanya saja perasaan ini sedikit berbeda. Berkali-kali saya melawan dan mengutuk diri sendiri kenapa harus suka dengannya. Tapi ternyata perasaan tak bisa dipaksa. Saya mengakui bahwa saya benar-benar menyukainya.

Tahun demi tahun berlalu, namun saya masih bersembunyi di balik kedok sahabat. Saya terlalu pengecut untuk mengatakan perasaan yang sebenarnya. Alasan utama adalah karena takut jika dia tidak memiliki perasaan yang sama, lalu merembet pada kehancuran persahabatan kami.

Singkat cerita, di tahun 2018 dia menelepon saya sambil menangis, lalu berkata akan ke Thailand untuk sementara waktu karena urusan kerjaan. Saya sedih. Dia yang saat itu kerja di Jakarta dan saya yang kerja di Bandung pun sangat sulit untuk bertemu. Dan kini kami akan terpisah jarak lebih jauh lagi bahkan hingga beda negara.

Di sinilah cerita patah hati dimulai. Sejak kepergiannya ke Thailand, ada beberapa sikapnya yang berubah. Komunikasi kita semakin renggang. Yang dulu bisa teleponan kapanpun kita mau, kini untuk sekadar chat saja rasanya sulit. Setiap saya mengirim pesan, dia hanya membalas dengan seadanya. Ini benar-benar bukan dia yang saya kenal. Pasti ada sesuatu yang masih belum saya ketahui saat itu.

Lalu karena satu dan lain hal, kita berdua bertengkar hebat hanya gara-gara masalah sepele (tentu saja ini via chat, karena dia tidak mau ditelepon). Masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan baik-baik ini justru jadi bumerang bagi saya dan dia. Apalagi saat dia mengatakan bahwa sebaiknya kita berdua menjalani kehidupan masing-masing saja dan tak perlu lagi sedekat dahulu yang sering curhat, nonton, dan nongkrong bareng.

Masih di waktu yang sama, akhirnya saya mengungkapkan perasaan saya lewat voice note. Dia sempat kaget bahkan terkesan tidak menerima. Hingga setelah sama-sama menenangkan diri selama satu-dua hari, akhirnya kita bisa menerima kenyataan. Ini potongan pesannya yang masih tersimpan di ponsel saya.

dokpri
dokpri
Hal ini menjadi patah hati terbesar saya. Bagaimana tidak, perasaan yang sudah saya bangun bertahun-tahun pada akhirnya hancur begitu saja bahkan sebelum saya mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. Rasanya seperti mengakhiri kisah yang padahal belum kita mulai. Ternyata, diputuskan sepihak bahkan hanya untuk sebatas teman sangatlah perih. Apalagi mengingat bahwa sebelumnya kita tidak punya masalah apapun. Lalu tiba-tiba BOOM! momen ini datang tanpa diduga.

Sulit juga pada awalnya menerima kenyataan pahit ini. Padahal sebelumnya saya sering berbagi kisah dengannya. Kini, tak ada lagi tempat untuk mencurahkan hati seperti dulu.

Tak apa, mungkin ini hanyalah separuh fase dalam kehidupan seseorang, termasuk saya. Patah hati juga melatih kita agar lebih kuat dan berhati-hati dalam memilih pasangan. Dan lagi, menjadi pengingat bahwa semakin besar rasa cinta kita pada seseorang, makan peluang untuk terluka pun akan semakin lebar. So, silakan jatuh cinta namun harus siap juga dengan risiko yang ada.

Oh ya, hubungan saya dan dia kini memang tak sedekat dulu. Tapi setidaknya kita masih menjaga komunikasi satu sama lain hingga sekarang. Juga, saya dan dia masih sama-sama sendiri sejak kejadian tempo hari itu. Dan bicara soal luka, sebenarnya belum sepenuhnya kering meskipun saya sudah ikhlas menerima keadaan. Mungkin ini hanya soal waktu saja untuk bisa menutupnya.

Baiklah, terima kasih untuk Kompasianer yang telah menyempatkan baca curhatan pemuda 25 tahun ini hehe. Akhir kata, sampai jumpa di tulisan selanjutnya!

M. Gilang Riyadi
Sumedang - 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun