Ada cerita patah hati yang tak biasa. Bagaimana jika kamu ada di posisi ini? Menyukai seseorang, lalu memendam perasaan itu dalam-dalam karena kamu pikir dengan tetap bersamanya sebagai teman sudahlah cukup. Suatu ketika, dia berubah perlahan. Tak ada komunikasi yang sebelumnya begitu intens, sampai akhirnya satu keputusan dibuat sepihak.
Berpisah, tidak lagi bisa seperti dulu, bahkan hanya untuk sebatas teman. Perasaan yang dulu dipendam bahkan belum tersampaikan. Dan sayangnya, kini kalian hanya sebatas orang asing.Â
Ah, itu tadi hanya kata-kata puitis yang menjadi cerminan kisah saya. Ya, sekali-kali tidak apa kan curhat di sini hehe. Apalagi temanya pas dengan topik pilihan Kompasiana, yaitu  "Membaca Tanda-Tanda Berakhirnya Putus Dengan Pacar".
Jadi, saya pernah menyukai seorang perempuan. Kita pertama kenal sejak kelas 2 SMA di tahun 2012. Karena satu dan lain hal, saya dan dia bisa menjadi teman baik dan sering mengobrol soal apapun, termasuk soal asmara. Bahkan ketika ia putus dengan pacarnya kala itu, sayalah yang jadi orang pertama yang mendengar keluh kesahnya.
Bertahun-tahun kita bersahabat. Hanya berdua tanpa ada anggota lain di dalamnya. Meski kita tidak di satu tempat kuliah yang sama, namun komunikasi tak pernah terputus. Saya pun sering bermain ke kampusnya di kawasan Jatinangor, di mana saya kuliahnya di Kota Bandung.
Sampai akhirnya saya merasa ada yang berbeda dari hubungan ini. Saya masih menganggapnya sebagai sahabat, hanya saja perasaan ini sedikit berbeda. Berkali-kali saya melawan dan mengutuk diri sendiri kenapa harus suka dengannya. Tapi ternyata perasaan tak bisa dipaksa. Saya mengakui bahwa saya benar-benar menyukainya.
Tahun demi tahun berlalu, namun saya masih bersembunyi di balik kedok sahabat. Saya terlalu pengecut untuk mengatakan perasaan yang sebenarnya. Alasan utama adalah karena takut jika dia tidak memiliki perasaan yang sama, lalu merembet pada kehancuran persahabatan kami.
Singkat cerita, di tahun 2018 dia menelepon saya sambil menangis, lalu berkata akan ke Thailand untuk sementara waktu karena urusan kerjaan. Saya sedih. Dia yang saat itu kerja di Jakarta dan saya yang kerja di Bandung pun sangat sulit untuk bertemu. Dan kini kami akan terpisah jarak lebih jauh lagi bahkan hingga beda negara.
Di sinilah cerita patah hati dimulai. Sejak kepergiannya ke Thailand, ada beberapa sikapnya yang berubah. Komunikasi kita semakin renggang. Yang dulu bisa teleponan kapanpun kita mau, kini untuk sekadar chat saja rasanya sulit. Setiap saya mengirim pesan, dia hanya membalas dengan seadanya. Ini benar-benar bukan dia yang saya kenal. Pasti ada sesuatu yang masih belum saya ketahui saat itu.
Lalu karena satu dan lain hal, kita berdua bertengkar hebat hanya gara-gara masalah sepele (tentu saja ini via chat, karena dia tidak mau ditelepon). Masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan baik-baik ini justru jadi bumerang bagi saya dan dia. Apalagi saat dia mengatakan bahwa sebaiknya kita berdua menjalani kehidupan masing-masing saja dan tak perlu lagi sedekat dahulu yang sering curhat, nonton, dan nongkrong bareng.
Masih di waktu yang sama, akhirnya saya mengungkapkan perasaan saya lewat voice note. Dia sempat kaget bahkan terkesan tidak menerima. Hingga setelah sama-sama menenangkan diri selama satu-dua hari, akhirnya kita bisa menerima kenyataan. Ini potongan pesannya yang masih tersimpan di ponsel saya.