Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Mendekap Arunika

5 November 2020   19:37 Diperbarui: 5 November 2020   19:46 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu masih sangat pagi. Matahari belum menampakkan diri, sementara langit terlihat begitu teduh. Langkah kaki Raina bergerak begitu cepat keluar kamar setelah menerima telepon dari seseorang. Nyawanya yang belum terkumpul sempurna memaksa ia naik ke lantai 4 bangunan indekosnya. Setelah menaiki tangga dan sampai di puncak, seseorang sedang menunggunya di sana.

Lantai 4 indekosnya hanya tempat rata yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian atau sekadar nongkrong untuk melihat langit secara langsung. Tempat ini pun bisa dijadikan sebagai tempat memandang kota dari ketinggian. Maka sambil menunggu matahari terbit, kedua orang itu masih di tempat yang sama. Saling berhadapan meski dengan jarak yang cukup jauh.

"Untuk apa sepagi ini kamu datang?" tanya Raina pada volume yang cukup tinggi agar terdengar jelas sampai ke orangnya.

Laki-laki itu sengaja mengenakan jaket jins yang menutup kedua lengannya, atau lebih tepatnya untuk menutup luka yang tergores di sana. 

Tidak ada jawaban meski Raina sudah bertanya. Maka perlahan ia menedekat untuk mencari tahu langsung dari laki-laki yang masih mematung itu.

"Aku... mau pindah kampus, Na. Ke swasta."

Wajah Raina seketika mengerut. Tatapannya jadi tak bersahabat memandang lawan bicara yang hanya bisa menunduk.

"Kehadiran aku hanya... akan membuat keadaan kamu memburuk," lanjut laki-laki itu lagi.

Raina menarik napas panjang sebelum menjawab.

"Cakra, konsepnya nggak seperti ini. Aku akan baik-baik saja dengan adanya kamu."

Laki-laki itu kemudian mengangkat lengan kiri Raina, memperjelas satu garis luka yang belum hilang di sana. Keduanya tidak akan lupa bagaimana dua minggu lalu Raina dengan sengaja melukai dirinya sendiri dengan silet tajam yang membuat darah segar bercucuran dari lengannya. Cakra panik, segera menelepon tetangganya yang juga jadi teman masa kecilnya dulu.

Arey, laki-laki muda seusianya itu langsung datang melihat banyak darah menodai lantai kamar Cakra yang bersih. Ia juga melihat Raina masih shock, sama dengan Cakra yang tak kalah takut melihat kejadian ini.

"Kita ke klinik pakai mobil aku. Sekarang, angkat perempuan ini."

Sampai di klinik, dokter berhasil mengobati Raina. Untung lukanya tidak terlalu dalam sehingga masih bisa ditolong.

"Kumat lagi?" tanya Arey di klinik ketika Raina sedang istirahat.

Cakra tidak langsung menjawab. Ia hanya memegang pergelangan tangannya yang juga baru diobati dokter.

"Aku... nggak nyangka dia akan berbuat senekad itu."

"Kra, she's like an angel. But you just make her hurt. You need to change, please."

***

Angin pagi meniup rambut panjang Raina, juga meniup rambut Cakra yang sudah mulai gondrong. Matahari mulai muncul, memberi cahaya hangat pada perasaan manusia yang begitu dingin. Mereka masih di tempat yang sama. Saling membahas kilas nostalgia yang terjadi di kehidupan keduanya.

Raina sedikit membuka lembaran lama pada pertemuan mereka setahun yang lalu di kampus. Saat itu mereka masih jadi mahasiswa baru. Keduanya berada pada jurusan berbeda. Namun salah satu mata kuliah membuat Raina dan Cakra bisa bertemu pada kelas yang sama paling tidak seminggu sekali.

Hal yang paling mencolok dari laki-laki dingin ini adalah bajunya yang selalu berlengan panjang. Entah itu sekadar kaos bisa, kemeja, atau bahkan jaket sekalipun. Cakra seolah tidak menginginkan orang lain melihat pergelangan tangannya. Sampai suatu ketika, hanya tersisa mereka berdua pada malam itu di halte kampus. Raina yang sedang menunggu ojeg online pesanannya kedinginan karena lupa membawa jaket.

"Pakai ini," kata Cakra memberikan sweater rajut miliknya. "Perjalanan ke rumah kamu pakai motor kan jauh."

Dengan senang hati Raina menerima. Hanya saja, ia melihat sesuatu yang janggal. Karenya hanya memakai kaos pendek biasa, kedua lengan Cakra terlihat jelas penuh luka goresan. Seperti cakaran kucing, atau juga luka yang sengaja dibuat sendiri. Entahlah, Raina belum bisa mengambil kesimpulan.

Cakra yang melihat tatapan kebingungan Raina mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Ojol pesanan kamu udah datang. Tuh."

Cerita lain terjadi pada saat Raina datang ke rumah Cakra untuk mengembalikan buku catatan yang dipinjamnya beberapa hari lalu. Ia mendapatkan alamat Cakra dari database mahasiswa kampus. Lagi pula, entah kenapa saat itu firasatnya sedikit tidak enak.

Sampai di pintu depan setelah mengetuk beberapa kali yang tak kunjung jawaban, Raina membuka pintu perlahan, lalu melirik rumah minimalis ini dari sudut mata.

"Aaarggh..."

Suara teriakan seseorang membawa Raina mendekat ke sumber salah satu ruangan. Saat itu juga, di kamar Cakra, ia melihat laki-laki itu melukai lengannya sendiri dengan silet. Keduanya bertatapan beberapa saat, namun Cakra memilih mengunci pintu dan membiarkan Raina mematung di luar kamar.

***

"Kalau kamu mau menghindar dari aku, bukan gini caranya. Ingat kata psikolog kamu, kamu butuh teman. Dan untuk itu aku ada di sini."

Cakra melihat tatapan yang begitu tulus dari mata Raina. Ia begitu baik telah menemani hidupnya selama setahun ke belakang ini. Tapi sejak kejadian Raina yang mengikuti langkahnya melukai diri sendiri, membuat Cakra semakin takut. Air mata itu. Teriakan itu semuanya masih terekam jelas dalam ingatan.

"Cakra, stop! Aku mohon stop!" seru Raina saat Cakra kumat. Di kamarnya, laki-laki itu mulai tak bisa mengontrol diri. Barang-barang berserakan di lantai, bahkan kini ia sudah memegang silet untuk melukai pergelangan tangannya.

"Cuma ini Na satu-satunya cara untuk menghilangkan beban dalam tubuh aku," jawab Cakra dengan suara bergetar.

"Oke kalau itu mau kamu."

Raina mengambil silet dari laci kamar Cakra. Ia mulai menyentuhkan benda tajam itu di pergelangan kirinya.

"Na, kamu ngapain?"

"Ini yang membuat kamu lega, kan?"

Tanpa mereka sadari satu sama lain, Raina sudah jatuh dengan kondisi darah yang mengalir deras. Mereka sama-sama terluka, tapi rasa sakit pada perasaan Cakra justru lebih dalam dari setiap goresan luka yang pernah dibuatnya.

"Aku nggak mau kamu terluka lagi," jawab Cakra kembali dari ruang nostalgia. 

"Aku akan baik-baik aja. Percaya, deh," kata Raina menyentuh lembut bahu Cakra. "Aku akan ada di sini, menemani kamu dalam kondisi apapun. Aku juga janji nggak akan mengulangi kesalahan waktu itu."

Sinar matahari kini lebih terlihat sempurna, memandang dua insan yang tidak melepas tatap sejak pertemuan pagi ini. Tiupan angin sesekali menerpa keduanya, seakan ikut bahagia melihat senyum Raina yang disusul oleh senyuman Cakra.

"Kamu tahu apa yang butuhkan saat ini?" tanya Raina.

"Apa?" Cakra memandang tak mengerti.

"Pelukan."

Raina memberikan sebuah pelukan hangat pada diri Cakra yang dingin. Meski awalnya tampak kaget, laki-laki itu membalas pelukan Raina. Ada perasaan nyaman yang selama ini sudah lama tak dirasakannya.

Mungkin, cara untuk menghilangkan beban pada dirinya bukan lagi dengan melukai diri sendiri, namun dengan mendapat pelukan dari orang yang begitu peduli pada hidupnya.

***

Mendekap Arunika - Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun