Pernah terbayang bahwa pada suatu masa di suatu periode literasi menghilang dari peradaban dunia, masyarakat sama sekali tak mengenal buku & aksara, setelah sekian lama masyarakat difasilitasi dengan buku & aksara ?
Realita Aksara Indonesia
"Pikiran kotor" ini yang beberapa hari menggantung di dinding pikiran saya. Berbicara masalah minat baca, seakan tak akan pernah cocok ketika disandingkan dengan Indonesia. Negeri gemah ripah loh jinawi ini setiap tahunnya menurut UNESCO (Statistical Yearbook, 1993) menerbitkan 0,0009 persen dari total penduduk Indonesia. Artinya, hanya 9 judul buku baru untuk setiap 1 juta penduduk Indonesia.Â
Survey yang sama dilakukan oleh Asean Book Publisher Asociation (ABPA, 2010) sebanyak 900 penerbit buku Indonesia hanya mampu menerbitkan 0,0009 persen judul buku baru setiap tahunnya setara dengan 24.000 buku baru selama 1 tahun untuk 255 juta penduduk Indonesia. Secara mengejutkan dalam kurun waktu 1993-2010 Indonesia bisa dibilang "jalan ditempat" dalam produktivitas penciptaan buku tahunan.
Berkaca dari paparan data sederhana diatas sebagai negara berkembang yang memiliki cita, menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat eksplorasi & inovasi, tampaknya Indonesia masih nyaman berada di tataran wacana.Â
Pemerintah dan  segudang kebijakan kenegaraannya gagal menjadikan Indonesia sebagai negara yang ramah dengan budaya membaca. Kurang terjangkaunya buku bacaan di Indonesia sejatinya disebabkan oleh harga buku bacaan yang bisa dibilang terlampau mahal. Hal ini diperparah dengan kurang meratanya persebaran toko buku di beberapa daerah di Indonesia.
Realita Indonesia berbeda dengan beberapa negara ASEAN lainnya yang sudah sejak lama "mencintai buku". Di Vietnam harga buku bisa dipastikan murah karena kebijakan subsidi yang diterapkan oleh pemerintah. Buku-buku literatur sastra, novel & opini terkenal dunia, selain mudah didapat harganya pun murah dan terjangkau semua kalangan masyarakat.Â
Malaysia mengalokasikan sebagian besar hasil pendapatan dalam Negeri nya untuk membiayai subsidi harga buku secara luas. Belajar dari Vietnam dan Malaysia harga buku sangat terjangkau karena adanya subsidi. Saya kira tak berlebihan jika Indonesia menerapkan model subsidi serupa, apalagi yang disubsidi adalah produk ilmu pengetahuan. Subsidi bisa dilakukan dengan pemberian tunjangan kepada pengarang atau kepada penerbit.
Subsidi tentunya agar penerbit mampu memenuhi skala ekonomi produksi. Penerbit mampu mencetak buku baru dalam jumlah yang banyak dan sesuai dengan harga pokok produksi minimal. Sehingga harga jual buku dipasaran dapat ditekan dan diefisienkan. Ah betapa indahnya jika Indonesia menjadi negara yang ramah dengan bacaan.Â
Satu hal lagi yang perlu diperbaiki dari Indonesia yaitu minat & tradisi membaca. Budaya bicara & menonton yang sekarang diakrabi masyarakat sudah mesti dikondisikan agar bisa beriringan dengan budaya membaca dan  menulis. Kenapa demikian? Karena hanya dimasyarakat yang memiliki kebiasaan baca-tulis tinggi sajalah, buku-sebagai produk ilmu pengetahuan-akan dinilai tinggi.
Literasi Membangun Indonesia
Dalam sambutannya saat meresmikan toko buku Gramedia pada 19 Desember 2008, Presiden Indonesia saat itu Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa bangsa yang maju pastilah memiliki masyarakat yang maju pula. Masyarakat yang maju ditopang oleh masyarakat yang gemar membaca. Reading society menjadi prasyarat utama menuju advance society. "Kalau kita ingin menjadi advance society, harus berangkat dari Reading Society. Ini adalah jalan yang tepat." Terang beliau
Apalah artinya sederet buku di rak perpustakaan, tumpukan koleksi buku pribadi atau bahkan sebuah resensi buku sekali pun. Ketika budaya baca dan keinginan untuk membaca sudah menurun atau bahkan telah hilang. Sejarah telah mencatat, bahwa peradaban manusia dimulai dan menuju puncaknya setelah adanya budaya tulis menulis.Â
Berawal dari menulis dan membacalah sebuah informasi didapat, selain dengan bahasa lisan tentunya. Maka layaknya lembaran megah sejarah gemilang peradaban manusia yang digerakkan oleh budaya membaca dan  menulis. Membangun Reading Society dan mewariskan kultur Literasi tampaknya dapat menjadi solusi perbaikan kualitas masyarakat Indonesia.
Kerja nyata mempopuliskan budaya literasi Indonesia adalah langkah riil yang bisa dilakukan oleh masyarakat. Kultur literasi adalah sesuatu yang unik maka diperlukan cara yang unik untuk membangunnya. Pernyataan "perang" terhadap tontonan televisi yang kurang mendidik bisa disiasati dengan cara menumpuk buku disekitar televisi atau lebih konkrit lagi dengan mengganti siaran tersebut dengan jam baca CERITA. Peran pemuda dan Komunitas Literasi juga diperlukan untuk membuat senandung literasi akrab ditelinga masyarakat.
Solusi lain yang barangkali bisa menjadi batu bata pembangun budaya literasi Indonesia adalah taman baca. Ruang terbuka hijau dan ruang ide publik bisa menjadi permulaan yang baik untuk mengajak masyarakat mencintai literasi. Komunitas Literasi dapat bekerja sama dengan pemerintah dan pengelola perpustakaan daerah untuk menjembatani program taman baca dan bincang buku. Diperlukan waktu untuk mencintai buku, maka diperlukan waktu pula untuk mengenalkan literasi. Langkah panjang yang pada akhirnya membuahkan advance society.
"Buku adalah barang ajaib yang layak dicintai, ia mengurung bukan hanya waktu tapi makna, ia mengajarkan bukan hanya abjad dan kata tapi juga cerita, ia menginspirasi kita bukan hanya untuk meniru tapi juga mencipta dengan penuh kreativitas, pertanyaannya bersediakah kita berkenalan dengannya"Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H