Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Omon-omon puisi dan sekenanya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pulang di Januari

16 Januari 2025   19:51 Diperbarui: 16 Januari 2025   19:51 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalan Sudirman, kilauan basah di bawah lampu jalan,
seperti genangan air mata tua yang tak mengering.
Trotoar menguapkan bau samar hujan semalam,
dan jejak sepatu menjadi mantra yang hilang.
Langit menggantung rendah, berat dengan abu-abu,
menunggu sesuatu yang tak pernah datang:
mungkin kilat, mungkin doa.

Angkot muncul dari bayang-bayang gang,
seperti kapal kecil di laut beton.
Penumpangnya adalah siluet:
seorang ibu dengan kantong plastik menempel di kakinya,
seorang pria tua dengan tangan yang gemetar
seperti daun kering yang lupa jatuh.
Mereka meluncur dalam diam,
seperti cerita yang tak pernah selesai ditulis.

Baca Juga: Kota yang Berderak

Di halte Karet, orang-orang berdiri,
bayang-bayang mereka tumpah ke trotoar.
Bau gorengan dari warung pinggir jalan
bercampur dengan aroma bensin,
udara menjadi kolase rasa lapar dan lelah.
Aku melihat seorang wanita
menggosok jendela bus yang berembun,
tapi tak ada yang bisa dilihat di luar sana.

Langit Jakarta merentang seperti kanvas tua,
warnanya bukan biru, bukan hitam,
hanya lapisan abu yang menyerah pada kota.
Ban mobilku menggesek genangan air:
suara kecil yang terus-menerus,
seperti detak jam yang tak pernah bertanya
apakah waktu itu penting.

Baca Juga: Dekat Denganmu

Burung-burung gereja berayun di kabel listrik,
seperti catatan kaki di halaman kosong.
Angin meniup mereka tanpa ampun,
dan mereka tetap di sana, tanpa protes.
Aku berpikir, mungkin ini adalah rahasia kota:
hidup hanya dalam keseimbangan,
di antara kabel-kabel kusut,
di antara hari-hari yang tak pernah sempurna.

Baca Juga: Angin di Taman Gorky

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun