Di ujung gang sempit, air menggenang setinggi lutut, membawa serpihan hidup yang tak pernah kita pedulikan: sendok plastik, brosur, sandal tanpa pasangan. Aku bertanya-tanya, bagaimana rasanya melihat hidupmu melesat seperti lampu motor di tengah hujan, semua kenangan menyatu dalam satu sorot kabur.
Kau ingin waktu berhenti. Duduk di bangku kayu warung kopi di tengah hari. Memandangi asap mengepul, sambil tanganmu menyentuh layar buram: kau meniup lilin ulang tahun, atau tertawa di pojok halte dengan teman-teman yang sudah hilang.
Tapi hidup tak pernah begitu lembut. Kilatan itu datang tanpa isyarat, seperti pintu kereta yang menutup tiba-tiba atau klakson truk yang membelah malam. Semua terasa seperti ledakan petasan: cepat, bising, dan membakar habis apa yang tersisa.
Baca Juga:Â Tulang Retak
Mereka bilang ada cahaya di akhir segalanya, sebuah lampu jalan yang berpendar di atas air hitam. Tapi mungkin, saat kau tenggelam, yang kau lihat hanyalah ikan kecil: melesat pergi, tak peduli pada tenggelammu atau kenanganmu.
Arus membawa segalanya ke tempat yang tak bernama, tempat gulma menari di antara botol plastik dan lumpur. Langit di atas tetap berjalan, awan-awan tak pernah berhenti untuk menoleh. Dan di permukaan, segala yang kau tinggalkan hanyalah riak kecil: hilang bersama perjalanan waktu yang sibuknya sama seperti kematian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H