Aku ingat malam itu di sudut jalan yang dingin, lampu neon berkedip seperti napas terakhir. Merah dan biru, saling bertaut seperti janji yang tak pernah ditepati. Aku berdiri di sana, membungkus tubuhku dengan jaket tipis, sementara angin malam membawa suara kembang api yang meledak di kejauhan. Tahun baru, atau setidaknya itulah yang dikatakan semua orang. Tapi bagi yang berdiri di sudut-sudut jalan ini, tahun baru hanyalah malam lain yang harus dilewati.
Aku sering berpikir tentang lampu neon itu, bagaimana ia terus berkedip meski soketnya mungkin terbakar, meski warnanya terlalu lelah untuk benar-benar menyala. Seperti kita semua, bukan? Hidup di ambang keletihan, terus mencoba bersinar meskipun tahu nyala itu tak sempurna. Di malam itu, aku merasa seperti lampu itu, bertahan di tengah kebisingan dan keretakan yang tak bisa kuperbaiki.
Di dinding bata yang retak, aku melihat bayangan menggigil, membelai permukaannya seolah mencari kehangatan. Retakan itu bukan hanya pada batu bata, tapi juga di dalam diriku. Aku selalu percaya bahwa retakan adalah bagian dari cerita; mereka adalah peta dari perjalanan kita. Tapi malam itu, aku bertanya-tanya apakah peta itu masih bisa kubaca. Apakah retakan ini akan membawaku ke mana pun, atau hanya menjadi labirin tanpa akhir?
Angin malam membawa suara kembang api, meledak di udara seperti petir yang terlalu lelah mengancam. Aku menatap ke langit, menyaksikan percikan warna yang memudar lebih cepat daripada mereka muncul. Di jalanan, genangan air bekas hujan memantulkan wajah-wajah orang yang berlalu lalang. Mereka adalah orang-orang yang tak punya tempat untuk pulang, atau mungkin mereka punya, tapi memilih untuk tidak kembali. Aku tidak tahu mana yang lebih menyedihkan.
Tahun baru, bagiku, selalu terasa seperti poster yang terlepas dari dinding. Ia menggulung dirinya sendiri, menjadi sesuatu yang tak lagi relevan begitu detik-detik hitung mundur berakhir. Aku pernah mencoba percaya pada gagasan permulaan baru, pada harapan bahwa segalanya bisa berubah begitu kalender berganti. Tapi seperti lampu neon itu, harapan selalu berkedip-kedip, tersendat-sendat.
Aku ingat pertama kali aku menyadari bahwa dunia tidak selalu memberikan apa yang kita inginkan. Aku masih kecil, mungkin delapan atau sembilan tahun, berdiri di depan jendela rumah yang bergetar karena suara petasan. Aku memejamkan mata, berharap sesuatu yang ajaib akan terjadi. Tapi ketika aku membuka mata, yang kulihat hanyalah kamar yang sama, dengan retakan yang sama di dindingnya. Aku belajar bahwa keajaiban jarang datang untuk mereka yang hanya menunggu.
Malam itu, di pintu kontrakan, kau berdiri. Aku tidak tahu apa yang membuatmu datang, apa yang membuatmu berpikir bahwa aku punya jawaban. Kau berdiri di sana, berlumur bayangan dan kebisingan kota, seperti tiang lampu yang dirubungi masa lalu. Soket terbakar, cahaya tersendat-sendat. Aku membuka pintu, menatapmu, dan untuk sesaat aku merasa bahwa kau adalah cerminan dari sesuatu yang ingin kulupakan.
Kau bukan serigala jantan, bukan batu, bukan dingin. Kau adalah api kecil dalam gelap, yang terus mencari udara untuk tetap menyala. Dan mungkin itulah yang membuatku membiarkanmu masuk. Di tengah segala keretakan dan kebisingan, ada sesuatu tentang nyala kecilmu yang membuatku berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, kita bisa bertahan.
Kita duduk di lantai, di antara kardus-kardus yang belum kubongkar. Kau menyalakan rokok, dan asapnya melayang seperti doa yang tak pernah dipanjatkan. Kita berbicara tentang segala hal dan tidak ada apa-apa, tentang masa lalu yang kita tinggalkan dan masa depan yang terlalu kabur untuk dibayangkan. Dan di antara kata-kata itu, aku merasa seolah-olah dunia menjadi sedikit lebih tenang.
Aku sering bertanya-tanya apa yang membuat kita terus berjalan, meski tahu bahwa jalanan ini penuh retakan dan genangan. Mungkin itu adalah harapan, meski samar, bahwa di suatu tempat di depan sana, ada sesuatu yang lebih baik. Atau mungkin itu hanyalah kebiasaan, seperti lampu neon yang terus berkedip meski tahu bahwa nyalanya tak lagi sempurna.