Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Omon-omon puisi dan sekenanya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Di Sebuah Kafe di Sudut Jakarta

28 Desember 2024   20:24 Diperbarui: 28 Desember 2024   20:41 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Barista di Sebuah Kafe. Sumber: Pexels.com/Lisa Fotios

Pagi, Sabtu. Jam 10 lebih sedikit.
Aku menyeruput kopi di kafe murah, sudut Harmoni.
Dua pemuda masuk, umur mereka seumur ambisi yang luntur,
mereka tak pesan apa-apa,
hanya membawa cerita yang retak di kantong mereka.

Yang satu, limbung seperti layangan putus,
kaus tanpa lengan berwarna lusuh,
celana jins menggantung seperti malas bertahan,
telinganya dihuni musik yang hanya ia dengar.
Ia menari, bukan untuk siapa-siapa,
melewati meja-meja dengan langkah seirama
seperti karnaval dadakan tanpa trompet.

Yang lain, tenang tapi nyaring,
tas punggung kecil di bahunya,
bicara lantang pada dirinya sendiri.
Tentang rumah, katanya, apa itu rumah?
Atau mungkin ia sedang menulis puisi,
tanpa pena, hanya dengan suara yang pecah
di udara Jakarta yang berat.

Aku terpaku,
melihat mereka seperti melihat lukisan jalanan,
catnya pudar, tapi kisahnya terus hidup.
Ada sesuatu di sana;
seperti bintang jauh yang mati tapi masih bersinar.

Pemuda pertama keluar,
melompat ke trotoar penuh debu.
Langkahnya seperti pengamen yang menari
tanpa musik, tanpa topi recehan.
Ia menguasai jalan itu,
seolah miliknya, tanpa izin siapa-siapa.

Di dalam, yang kedua
menghadap orang-orang yang pura-pura sibuk,
dan berbicara kepada mereka,
atau mungkin kepada tembok,
atau kepada siapa pun yang ada di pikirannya.
Monolognya adalah labirin,
tak ada yang tahu jalan keluarnya.

Aku merasa seperti penyelam,
berenang di lautan asing
yang penuh reruntuhan kapal,
berusaha memahami peta
yang tak pernah digambar.

Mereka menggangguku,
bukan karena mereka ada,
tapi karena aku melihat diriku di sana;
di langkah pemuda pertama yang terlalu ringan,
di kata-kata pemuda kedua yang terlalu berat.

Aku teringat anakku,
bahkan anak dari anakku,
yang mungkin suatu hari
akan menari di jalan
atau berbicara kepada bayangan.
Aku takut, tapi tak tahu apa yang kucari
untuk membetulkan sesuatu yang tak kumengerti.

Hari terus berjalan,
Jakarta bergerak seperti biasa,
dengan klakson, dengan hiruk-pikuk
dan kebisingan yang tak pernah tidur.
Aku meninggalkan kafe,
membawa pertanyaan yang lebih tua
dari pagi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun