1.
Di trotoar Basuki Rahmat, sepotong hati dicorat-coret
dengan cat semprot merah muda. Siapa tahu, mungkin
itu pesan dari seseorang yang pernah kita kenal,
tapi lupa namanya. Ingat lavender kering di novel bekas
di kios pinggir stasiun, kalimatnya seperti bisikan:
"Dunia ini abu-abu, tapi kadang jadi bening,
kecil seperti air mata." Kau berhenti sejenak,
melihat seorang ibu melintasi jalan, gelang-gelangnya
menyala seperti sisa sore di langit timur.
Baca Juga: Hibernasi
2.
Di bus kota yang berderit, seorang gadis muda
memutar video Shah Rukh Khan. Matanya, perlahan
berkedip seperti waktu berhenti sebentar. Kau tertawa kecil.
Siapa yang butuh logika, kalau kebetulan seperti ini?
Lagu di warung kopi Mang Sunda terdengar serupa,
liriknya seperti menampar:
"Jangan lupa lihat ke dalam diri."
Tapi siapa punya waktu? Kota ini penuh asap
dan janji-janji yang hampir meledak.
Baca Juga: Suatu Waktu di Jakarta
3.
Di dashboard angkot, stiker bertuliskan Hidup adalah Pilihan.
Kau mencoba membacanya tanpa tersenyum,
tapi gagal. Jalanan macet seperti melambatkan segalanya
kecuali pikiranmu yang melesat. Di tepi jendela,
seorang pemuda mengecat tembok dengan grafiti baru,
garis-garisnya menyerupai bunga.
"Kebenaran itu bukan sesuatu yang dikejar,"
bisikmu, meski tak ada yang mendengar.
"Kebenaran hanya menunggu. Tapi mataku terus melintas."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H