Bayangkan tubuhmu seperti pohon tua, kulitnya keriput, tapi akarnya dalam. Angin Desember menggoyang cabang-cabangnya, tapi tak bisa meruntuhkan niatnya untuk diam. Kegelapan hanyalah selimut tebal: bukan ancaman, tapi pelukan.
Di dalam gua, waktu berjalan pelan, detiknya memudar jadi gumam yang jauh. Sinar matahari hanya dongeng kuno, dan dunia luar terasa seperti cerita yang kau baca saat kecil, terlalu besar untuk kau pahami sekarang.
Hewan-hewan tidur panjang tanpa mimpi, melipat ingatan seperti selimut tua. Tak ada yang memaksa mereka mencari cahaya atau melawan malam. Mungkin kita juga bisa begitu: diam, dan biarkan dunia memutar porosnya.
Alarm berbunyi dari kejauhan, tapi kau tak perlu bangun. Suara itu hanya ilusi, seperti teriakan Kacer yang hilang di balik kabut pagi. Tidurlah lebih dalam, kata gua.
Baca Juga: Sebelum Esok Tak Pernah Datang
Di sini, putus asa adalah ruang kosong, bukan monster yang mengintai. Sebuah tempat untuk duduk; untuk mengumpulkan serpihan-serpihan yang pernah kau abaikan karena terlalu sibuk menjadi sesuatu.
Kau menggali sarangmu sendiri, tangan penuh lumpur, tubuh lelah. Tapi lihatlah: ini rumah, meski dindingnya basah dan langit-langitnya rendah. Bukankah rumah adalah tempat kau bisa berhenti?
Di luar, dunia terus berlari, tapi di sini, langkah-langkahmu melambat. Apa gunanya mengejar sesuatu jika akhirnya kau hanya jatuh? Di gua ini, jatuh adalah pilihan, bukan hukuman.
Musim panas terasa seperti mitos: warna hijau yang terlalu cerah, bunga-bunga yang terlalu mekar. Tapi tak apa, katamu, aku tak perlu membayangkan musim itu untuk bertahan di musim hujan.
Baca Juga: Kisah Kecil di Tubuh Hujan (2)