(1)
Jika esok tak ada, bulan akan menggigil di langit
beku seperti cermin retak.
Pohon-pohon mengeras, rantingnya melengkung
seperti tangan yang lupa berdoa.
Dan kita, terjebak di tengah malam,
hanya bisa menatap satu sama lain,
mencari jawaban yang tak pernah selesai.
(2)
Matahari berubah jadi lingkaran hitam,
asapnya menyelinap ke paru-paru burung
yang dulu bernyanyi pagi.
Burung hantu kehilangan tatap tajamnya,
matanya jadi lubang kecil
di mana harapan pernah tinggal.
Di aspal, tikus-tikus menempel
seperti noda yang tak bisa dicuci.
Baca Juga: Lagu yang Lahir di Tubuh Ibu
(3)
Di dapur, kompor membisu,
meja hanya tulang-tulang kenangan.
Kaos kita jadi plastik
terseret angin di tepi jalan.
Tak ada yang tersisa
kecuali napas berat
dan pelukan yang menolak melepaskan.
(4)
Kita berdiri di bawah langit terbakar,
langit itu, merah seperti darah
yang dulu mengalir penuh di nadi kita.
Anjing meringkuk di kaki,
matanya bertanya, tapi kita tak tahu jawabannya.
Hanya saling genggam, hanya menatap,
hanya berharap, tanpa kata-kata.
Baca Juga: Suatu Waktu di Jakarta
(5)
Tapi di sini, di saat-saat terakhir,
kita masih merasa cukup.
Masih ada udara di paru-paru,
masih ada sentuhan di kulit,
masih ada rasa syukur dalam reruntuhan.
Jika ini akhirnya,
setidaknya kita ada: di sini,
bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H