Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Omon-omon puisi dan sekenanya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Lagu yang Lahir di Tubuh Ibu

18 Desember 2024   13:24 Diperbarui: 18 Desember 2024   13:24 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Anak Lelaki Seorang Diri. Sumber: Pexels.com/Ho Cuong

(1)

Tubuhmu seperti lagu yang lahir dari sunyi,

setiap nadanya membentuk wajahku,

menyulam waktu dengan jari yang lelah.

Aku tak ingat bunyimu, tapi gemanya tinggal.

Waktu menyimpan kita dalam kepingan hujan,

hanya samar:

seperti suara angin di sela daun yang jatuh.

(2)

Ada seorang anak yang berlari,

menggendong puing-puing doa dari perang asing,

tanah jauh yang bau mesiu dan janji patah.

Di sana, ia menyanyi terlalu keras,

hingga suaranya pecah seperti kaca.

Ia pulang, membawa bayangan

yang tak bisa diceritakan, hanya dirasakan.

(3)

Anak lain melayang dari gedung tinggi,

sayapnya patah sebelum sempat terbang.

Mungkin ia mencoba menjadi burung,

atau hanya mencari tanah untuk meletakkan beban.

Langit menerimanya seperti ibu yang tahu

anaknya pulang tanpa kata, hanya tubuh.

(4)

Ada yang lupa lirik tubuhnya,

mencoret wajahmu di kanvas

dengan bentuk gunung dan bulan,

seolah itu cukup untuk mengingat.

Tapi mereka salah;

wajahmu lebih dari sekadar garis atau warna.

(5)

Ia berkata, "Lagu itu masih ada,

di sela napasmu yang panjang,

di detak yang mengikutimu saat kau tidur."

Mungkin benar,

aku mendengarnya di malam paling sepi.

(6)

Ayah menulis seribu puisi untukmu,

bukan karena ingin diingat,

tapi agar aku tak lupa.

Setiap kata adalah jalan kecil

yang kuharap membawaku kembali

ke pelukan yang pernah kau buka untukku.

(7)

Aku tahu darahnya,

rasanya pahit seperti kenangan

yang menolak lenyap.

Aku tahu lagunya,

terdengar seperti sungai kecil

yang merintih mencari laut.

(8)

Kau selalu bilang ibu tak lupa tubuh,

tapi aku lupa wajahmu.

Aku hanya punya siluet,

seperti bayangan di balik tirai

ketika matahari terlalu lemah untuk menembus.

Tapi aku tahu kau ada,

seperti lagu yang tak pernah selesai.

(9)

Sekarang aku bernyanyi keras,

laguku liar, penuh luka dan api,

tapi aku bernapas.

Mungkin aku mewarisi ini darimu:

lagu yang berat,

tapi tak pernah berhenti.

Aku tahu mengapa serigala melolong,

mereka, seperti aku,

hanya ingin pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun