Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Omon-omon puisi dan sekenanya.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Mengupas Keheningan, Dunia Kecil dalam Puisi Imajis

17 Desember 2024   12:30 Diperbarui: 17 Desember 2024   12:30 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah ruang kosong, sebuah cahaya jatuh membentuk garis tipis yang tak tersentuh. Puisi Imajis adalah tentang cahaya itu. Tentang bagaimana sesuatu yang nyaris tak terlihat, yang sekilas berlalu seperti embusan angin di pagi hari, dapat dibekukan dalam sebentuk kata.

Imajisme adalah seni memotret sekejap, fragmen hidup yang rapuh dan memadatkannya dalam bahasa yang sepadat kristal, setajam jarum. Tidak ada ornamen. Tidak ada retorika yang membengkak. Hanya gambar yang dingin dan bersih, seperti lantai marmer dalam museum yang sunyi.

Puisi Imajis lahir dari tangan-tangan penyair yang lelah oleh kesesakan Romantisisme, oleh kerumunan kata-kata yang tak pernah kehabisan metafora untuk memuja sesuatu yang samar. Mereka haus akan presisi, akan bahasa yang lebih dekat ke dunia nyata, lebih jujur, dan lebih mendekati bagaimana sebuah momen benar-benar hidup di depan mata.

Ezra Pound, bapak dari gerakan ini, menyebut Imajisme sebagai cara untuk menciptakan 'gumpalan-pikiran yang langsung membentuk dirinya': seperti batu yang dilemparkan ke air tenang, menciptakan lingkaran-lingkaran yang menyebar dengan cepat tapi selalu berpusat pada satu titik.

Dan di sinilah letak simbolisme Imajis: diam yang bergerak. Puisi ini tidak mengejar makna yang berlarian ke sana kemari, ia hanya menampilkan sesuatu yang ada. Ia adalah sehelai daun yang gugur dalam kehampaan; warna merah pada apel di meja kayu tua; bayangan jendela yang dipantulkan air di tengah hujan.

Dalam The Red Wheelbarrow, William Carlos Williams menulis:

"so much depends upon a red wheelbarrow glazed with rain water beside the white chickens"

Di permukaan, ini adalah puisi yang tidak lebih dari sekumpulan gambar. Sebuah gerobak merah, air hujan yang berkilauan, ayam putih. Tapi seperti kaca yang ditempati cahaya, gambar ini memantulkan dunia yang lebih besar. Ada sesuatu yang tak terucapkan di balik bahasa yang sederhana ini: sebuah penekanan bahwa benda-benda kecil, benda-benda sehari-hari, adalah sesuatu yang penting.

Seolah Williams berbisik kepada kita bahwa kehidupan, dalam bentuk paling puranya, justru ditemukan di tempat-tempat yang sering luput dari perhatian. Imajisme tidak menambahkan; ia malah mengupas hingga tinggal inti dari momen itu sendiri.

Penyair Imajis adalah para pencatat. Mereka mengamati dunia dengan mata yang hampir kejam. Tidak ada perasaan yang dipaksakan, tidak ada kesimpulan moral. Mereka hanya mencatat apa yang terlihat, tapi melihat dengan kedalaman yang tidak bisa dijangkau oleh mata biasa.

Dalam puisi Imajis, simbolisme tidak pernah sekadar simbol. Gambar-gambar yang ditampilkan adalah kenyataan itu sendiri. Gambar itu, dalam kebisuannya, berbicara lebih banyak daripada metafora yang ditumpuk bertubi-tubi.

Inilah yang membuat puisi Imajis begitu modern, bahkan ketika ia lahir di awal abad ke-20. Dunia modern adalah dunia gambar. Kita semua dibombardir oleh visual setiap detik. Tapi di tengah kecepatan itu, kita kehilangan kapasitas untuk melihat. Penyair Imajis memaksa kita berhenti. Memaksa kita menatap sesuatu yang sederhana, dan menyadari kompleksitas yang tersembunyi di dalamnya. Seperti ketika Amy Lowell menulis dalam Autumn:

"A touch of cold in the Autumn night: I walked abroad, And saw the ruddy moon lean over a hedge Like a red-faced farmer."

Imajisme mengubah bulan menjadi petani tua yang kelelahan. Tidak ada yang dipoles di sini. Gambar itu bersifat harfiah, tapi justru karena itu, kita bisa merasakan atmosfer malam yang tajam dan dingin. Kita bisa melihat bulan seperti kita melihat seseorang yang pernah kita kenal: nyata, biasa, tapi penuh rasa.

Dunia yang ditawarkan Imajisme adalah dunia yang tidak jauh dari genggaman kita, dan justru itulah yang membuatnya begitu memukau.

Di dunia yang sering kali berisik dan penuh klaim akan kebenaran, puisi Imajis seperti ruang kosong yang hening. Seperti secangkir kopi di pagi hari, uap yang naik dari permukaan cairan hitam itu adalah puisi dalam dirinya sendiri.

Sebuah gerak yang hampir tidak ada. Tetapi di situlah, dalam kehampaan itu, kita diajak untuk merenung. Karena kadang-kadang, hanya dengan menyadari hal yang terkecil, kita bisa menemukan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.

Tentu saja, kritik datang. Mereka yang tidak bersabar dengan puisi Imajisme menyebutnya terlalu sederhana, terlalu dingin. Seolah-olah puisi ini kehilangan jiwa karena mengabaikan perasaan. Tapi di sini letak kesalahpahaman itu: puisi Imajis tidak meniadakan perasaan.

Ia justru membuka ruang bagi pembaca untuk menemukan perasaan itu sendiri. Tidak ada desakan. Tidak ada instruksi. Hanya gambaran yang bersih, seperti cermin yang belum disentuh tangan.

Di balik setiap gambar, ada simbol yang samar. Gerobak merah dalam hujan bukan sekadar gerobak; ia adalah ketergantungan. Daun yang jatuh bukan sekadar daun; ia adalah kefanaan. Tapi simbol itu tidak pernah dipaksa. Ia hanya muncul jika kita mau berhenti dan melihat. Jika kita mau memberi waktu pada gambar itu untuk berbicara.

Dan di sini, dengan perspektif baru, kita melihat bagaimana puisi Imajis menjadi relevan dalam konteks sekarang. Dalam era digital, di mana setiap momen adalah potret Instagram yang dicari untuk mendapatkan like, puisi Imajis mengingatkan kita akan esensi sebuah gambar.

Ia bukan sesuatu untuk dikonsumsi cepat-cepat. Ia adalah sesuatu yang harus dihadapi dengan keheningan dan ketenangan. Kata-kata tidak berisik di sini; mereka duduk diam di sudut ruangan dan menunggu kita untuk datang.

Kita mengisahkan cerita untuk hidup, maka puisi Imajis menceritakan gambar untuk berhenti hidup sejenak. Untuk melihat dengan kesadaran penuh. Seperti memegang cangkang kosong yang tergeletak di pasir, kita tahu tidak ada lagi yang tinggal di dalamnya. Tapi justru karena itu, kita bisa melihat bentuknya dengan lebih jelas. Dengan segala lekukannya, dengan semua garis waktu yang diukir oleh laut.

Puisi Imajis adalah keheningan itu sendiri. Ia adalah momen ketika kita menatap sesuatu yang kecil, lalu menyadari betapa luasnya dunia di dalamnya. Dan dalam peradaban yang gemar mengejar kecepatan, apa yang lebih radikal daripada berhenti dan melihat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun