Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Omon-omon puisi dan sekenanya.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Mengupas Keheningan, Dunia Kecil dalam Puisi Imajis

17 Desember 2024   12:30 Diperbarui: 17 Desember 2024   12:30 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Penyair Jalanan. Sumber: Pexels.com/Jan van der Wolf

Dalam puisi Imajis, simbolisme tidak pernah sekadar simbol. Gambar-gambar yang ditampilkan adalah kenyataan itu sendiri. Gambar itu, dalam kebisuannya, berbicara lebih banyak daripada metafora yang ditumpuk bertubi-tubi.

Inilah yang membuat puisi Imajis begitu modern, bahkan ketika ia lahir di awal abad ke-20. Dunia modern adalah dunia gambar. Kita semua dibombardir oleh visual setiap detik. Tapi di tengah kecepatan itu, kita kehilangan kapasitas untuk melihat. Penyair Imajis memaksa kita berhenti. Memaksa kita menatap sesuatu yang sederhana, dan menyadari kompleksitas yang tersembunyi di dalamnya. Seperti ketika Amy Lowell menulis dalam Autumn:

"A touch of cold in the Autumn night: I walked abroad, And saw the ruddy moon lean over a hedge Like a red-faced farmer."

Imajisme mengubah bulan menjadi petani tua yang kelelahan. Tidak ada yang dipoles di sini. Gambar itu bersifat harfiah, tapi justru karena itu, kita bisa merasakan atmosfer malam yang tajam dan dingin. Kita bisa melihat bulan seperti kita melihat seseorang yang pernah kita kenal: nyata, biasa, tapi penuh rasa.

Dunia yang ditawarkan Imajisme adalah dunia yang tidak jauh dari genggaman kita, dan justru itulah yang membuatnya begitu memukau.

Di dunia yang sering kali berisik dan penuh klaim akan kebenaran, puisi Imajis seperti ruang kosong yang hening. Seperti secangkir kopi di pagi hari, uap yang naik dari permukaan cairan hitam itu adalah puisi dalam dirinya sendiri.

Sebuah gerak yang hampir tidak ada. Tetapi di situlah, dalam kehampaan itu, kita diajak untuk merenung. Karena kadang-kadang, hanya dengan menyadari hal yang terkecil, kita bisa menemukan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.

Tentu saja, kritik datang. Mereka yang tidak bersabar dengan puisi Imajisme menyebutnya terlalu sederhana, terlalu dingin. Seolah-olah puisi ini kehilangan jiwa karena mengabaikan perasaan. Tapi di sini letak kesalahpahaman itu: puisi Imajis tidak meniadakan perasaan.

Ia justru membuka ruang bagi pembaca untuk menemukan perasaan itu sendiri. Tidak ada desakan. Tidak ada instruksi. Hanya gambaran yang bersih, seperti cermin yang belum disentuh tangan.

Di balik setiap gambar, ada simbol yang samar. Gerobak merah dalam hujan bukan sekadar gerobak; ia adalah ketergantungan. Daun yang jatuh bukan sekadar daun; ia adalah kefanaan. Tapi simbol itu tidak pernah dipaksa. Ia hanya muncul jika kita mau berhenti dan melihat. Jika kita mau memberi waktu pada gambar itu untuk berbicara.

Dan di sini, dengan perspektif baru, kita melihat bagaimana puisi Imajis menjadi relevan dalam konteks sekarang. Dalam era digital, di mana setiap momen adalah potret Instagram yang dicari untuk mendapatkan like, puisi Imajis mengingatkan kita akan esensi sebuah gambar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun