Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Omon-omon puisi dan sekenanya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Buncis di Panci Warisan

16 Desember 2024   15:48 Diperbarui: 16 Desember 2024   15:48 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Panci dan Ceret. Sumber: Pexels.com/Gul Isik

: untuk istriku

1.

Di dapur sempit, waktu melesak di antara dinding. Aku rendam buncis, airnya keruh, mengambang seperti sejarah: keras kepala, menolak empuk, meski direndam di malam yang panjang.

2.

Pisau tua mengiris daging keras,
garis-garis merah membeku di mata pisau.
Aku dengar gajiku dipotong lagi;
setiap serat daging yang lepas
adalah angka yang lenyap dari slip gaji.

3.

Buih dari buncis pecah,
menggelegak, menampar tepi panci.
Setiap letupan adalah cerita yang tidak selesai,
dibaca dengan mata lelah,
diulang di bawah lampu dapur
yang tidak pernah padam.

4.

Jari-jariku, pecah oleh panas,
bertemu dengan generasi perempuan sebelumku,
yang juga membakar tangan mereka
di atas panci warisan.
Setiap lecet, simbol tangan yang melawan
sistem yang menunduk.

5.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun