Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Omon-omon puisi dan sekenanya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kisah Kecil di Tubuh Hujan (2)

13 Desember 2024   20:00 Diperbarui: 13 Desember 2024   20:00 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Seorang Pria dengan Payung. Sumber: Pexels.com/Joao Cabral

1

Di gang sempit antara dua dinding kumuh, seorang pelukis mencoret nama-nama di tembok. Setiap huruf meneteskan warna,
seperti hujan yang berusaha melarikan diri. "Siapa mereka?" tanyaku. Ia hanya tersenyum samar, "Kenangan yang tak mau pergi."

2

Di kamar dengan tirai robek,
seorang musafir mencatat mimpi buruk.
"Tadi malam, hujan menelanku," tulisnya.
"Aku bangun di sungai yang kering,
dan Tuhan berkata, 'cobalah lagi.'"
Kertasnya basah sebelum pagi tiba.

3

Di pemakaman tanpa batu nisan,
seorang gadis kecil menanam bunga plastik.
"Ini tidak akan pernah mati," katanya,
matanya menantang langit berawan.
Hujan turun pelan,
mencoba menyembunyikan tangis dari tanah.

4

Di toko buku bekas yang penuh debu,
seorang pria membaca puisi tua.
Kata-katanya pecah di bibirnya,
seperti gelas retak yang mencoba menahan hujan.
Dia menutup buku itu dengan hati-hati,
seolah-olah menyimpan rahasia yang tak ingin ditemukan.

Baca Juga: Kisah Kecil di Tubuh Hujan (1)

5

Di atas jembatan gantung yang berderit,
seorang wanita melempar koin ke sungai.
Ia menutup matanya, berbisik:
"Tunjukkan jalan pulang."
Tapi hujan menjawab lebih dulu,
menghapus jejak di air yang deras.

6

Di ruang tamu yang berantakan,
seorang ibu menyalakan lilin di tengah kegelapan.
"Listrik mati lagi," katanya sambil tertawa kecil.
Tapi hujan di luar jendela
menceritakan sesuatu yang berbeda:
tentang badai yang sedang belajar menjadi tenang.

7

Di jalan tol yang tergenang,
seorang pengemudi berhenti di bahu jalan.
Ia memandangi genangan seperti cermin,
mencari bayangan yang hilang di air.
Hujan menciptakan lingkaran-lingkaran kecil,
seolah menjawab pertanyaan yang tak pernah ditanya.

8

Di taman kota yang kosong,
seekor burung gereja berteduh di bawah bangku.
Hujan meneteskan ritmenya ke tanah,
seperti puisi yang lupa ditulis.
Burung itu berkicau pelan,
nada yang hanya dipahami oleh kesedihan.

9

Di meja makan dengan piring kosong,
seorang ayah menggambar sesuatu di embun gelas.
"Itu hujan?" tanya anaknya.
"Tidak," jawabnya,
"itu jalan keluar yang tak bisa kita temukan."
Di luar, hujan terus mengetuk jendela.

10

Di akhir cerita yang tak berjudul, seorang narator menutup buku dengan pelan. "Hujan akan terus jatuh," katanya, "dan kita akan terus mencoba memahaminya." Tapi di halaman terakhir, tak ada apa-apa kecuali tetesan yang pudar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun