Saya membayangkan seorang penulis, duduk di meja kecilnya, menatap halaman kosong yang menunggu untuk diisi. Halaman itu adalah padang gurun yang tak ramah, ruang kosong yang menuntut makna dari kekacauan. Kita cenderung percaya bahwa menulis adalah tentang inspirasi, tentang momen-momen epifani yang datang secepat angin laut di sore hari.
Tetapi bagi para anggota Oulipo, menulis bukanlah momen magis. Itu adalah kerja keras. Sebuah permainan. Sebuah tantangan.
Oulipo, yang merupakan singkatan dari Ouvroir de Littrature Potentielle atau "Bengkel Sastra Potensial," didirikan pada tahun 1960 di Prancis. Mereka bukan sekadar kelompok penulis atau penyair; mereka adalah matematikawan, ahli linguistik, pemikir radikal yang percaya bahwa seni menulis adalah eksperimen ilmiah, bahwa bahasa dapat dimanipulasi, dipecah, dibentuk kembali dengan aturan-aturan yang kaku untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Ini mungkin terdengar kontradiktif. Bagaimana mungkin aturan yang membatasi justru melahirkan kebebasan kreatif? Namun itulah inti dari Oulipo: sebuah keyakinan bahwa batasan adalah rahmat tersembunyi.
Salah satu contoh paling terkenal dari eksperimen Oulipo adalah novel La Disparition karya Georges Perec, sebuah novel sepanjang 300 halaman yang sepenuhnya menghindari penggunaan huruf "e": huruf yang paling umum dalam bahasa Prancis. Karya ini bukan hanya keajaiban linguistik, tetapi juga pernyataan eksistensial.
Baca Juga: Puisi Lapisan Keindahan
Perec kehilangan kedua orang tuanya selama Holocaust, dan kehilangan huruf e menjadi alegori atas kehilangan yang lebih besar: kehilangan bahasa, identitas, dan makna di dunia yang penuh kekacauan. Tetapi bagaimana dengan puisi? Tentu saja. Jika puisi adalah tentang permainan ritme dan makna, maka apa yang dilakukan Oulipo adalah memperluas definisi puisi, menjadikannya permainan intelektual yang melibatkan logika dan keberanian untuk melawan kebiasaan.
Dalam puisi, eksperimen ini menjadi lebih langsung. Salah satu bentuk yang sering digunakan adalah lipogram, yaitu karya yang dengan sengaja menghindari satu huruf atau lebih. Dalam konteks ini, puisi menjadi sebuah teka-teki, sesuatu yang membutuhkan upaya dari pembaca untuk memecahkannya.
Tapi bukan itu yang benar-benar penting. Yang penting adalah proses kreatifnya: bagaimana batasan-batasan ini memaksa penyair untuk berpikir di luar kebiasaan, untuk menciptakan asosiasi baru dan menemukan ritme yang tak terduga.
Saya ingat sebuah puisi sederhana yang dibuat berdasarkan aturan N+7, di mana setiap kata benda dalam teks asli digantikan dengan kata benda ketujuh setelahnya dalam kamus. Puisi yang dihasilkan bukan hanya terlihat asing tetapi juga lucu, kadang-kadang mendalam secara tidak sengaja, seolah-olah sang penyair telah menemukan jalan menuju absurditas eksistensial.