Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature, Indraprasta University, Jakarta

Omon-omon puisi dan sekenanya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Melintasi Riuh dan Sepi

10 Desember 2024   11:26 Diperbarui: 10 Desember 2024   17:54 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Senja dari Jendela. Sumber: Pexels.com/El Jusuf

(1)

Jakarta, seperti mesin fotokopi yang kelelahan, mencetak ulang langkah kaki. Di dalam KRL, tangan-tangan menggenggam layar, seperti menahan gravitasi yang membebani kepala. Di luar jendela, gedung-gedung berlomba mencakar langit, seakan ingin membuktikan bahwa langit hanya milik mereka. Kaki-kaki lelah mengeja aspal yang retak. Lampu jalan berkedip, ragu-ragu antara mati atau hidup, seperti nasib yang tak pernah selesai dipikirkan.

(2)

Braga di Bandung, seperti buku tua dengan aroma kertas basah. Trotoar menyerap langkah, membawa mereka pada aroma kopi yang bertumpahan. Di sudut jalan, seorang pemuda duduk dengan kertas lusuh. Tumpahan teh membentuk pola seperti peta yang tak pernah selesai. Ia menulis puisi di sana, puisi yang hanya dibaca angin, hanya didengar malam.

(3)

Sudah malam di Jakarta, dan sungai Ciliwung berubah menjadi cermin kelam. Di atasnya, bayangan gedung bertingkat seperti wajah muram. Di tepinya, anak-anak tertawa, menyambut aliran air yang mengendap bau kota. "Mereka tak tahu," kata seorang bapak sambil memandangi arus, "air ini hanya membawa cerita yang tak pernah bahagia."

(4)

Di jalan Dago, Bandung menawar sepi dengan kabut. Pedagang kaki lima menawarkan roti bakar, uapnya berbaur dengan dingin yang meresap sampai ke tulang. Seorang lelaki tua memetik gitar dengan nada-nada patah. Ia tidak menyanyi, hanya berbicara dengan senar, bercerita tentang musim yang hilang, tentang taman-taman yang dulu penuh tawa, sekarang penuh rindu.

(5)

Sementara itu, Senayan sibuk berbisik tentang kuasa. Gedung-gedung tinggi membentuk labirin bayangan, menutupi jalan-jalan yang penuh debu dan mimpi yang tertinggal. Seorang pemulung menyeret gerobaknya, seperti menggiring awan mendung. "Apa arti keadilan?" pikirnya, tapi kata itu terlalu besar untuk gerobak kecilnya.

(6)

Lembang menyambut pagi dengan kabut yang mengantuk. Jalan-jalan berliku, seperti teka-teki tanpa jawaban. Dua remaja duduk di sebuah warung kecil, berbincang dengan bahasa yang sederhana, tentang cinta yang lebih rumit dari jalan di depan mereka. Kopi hitam di meja menjadi saksi, uapnya membawa rahasia ke udara yang dingin.

(7)

Jakarta malam hari adalah simfoni neon dan hujan. Di emperan toko, seorang lelaki tua terbaring, membungkus tubuhnya dengan koran usang. Ia bermimpi menjadi aktor, tapi hidup hanya memberinya panggung jalanan. Hujan turun, mengetuk aspal dengan nada pelan, mengiringi mimpi yang sudah lama kehilangan penonton.

(8)

Bandung pagi hari adalah jemuran basah yang berbaris di gang sempit. Bau nasi yang ditanak meresap ke udara, membawa kehangatan ke sudut-sudut kecil. Anak-anak tertawa, suara mereka membentur dinding rumah yang tua. Waktu seperti melambat di sini, memberi ruang bagi kehidupan untuk bernapas, untuk sejenak melupakan bahwa di luar sana, dunia berlari terlalu cepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun