(1)
Kita keluar di pagi yang dingin, jalan lengang, udara menusuk, lampu jalan memudar perlahan. Sepatu kita menghantam aspal, berat dengan lumpur kemarin, suara klakson dan bisikan angin mengejek langkah kita. "Di mana ujung jalan ini?" seseorang bertanya, tapi tak ada yang menjawab, hanya gedung-gedung menjulang diam.
(2)
Di bawah jembatan, gerombolan orang berbaring, kardus-kardus mereka adalah istana, api kecil penghangat mereka tak abadi. Kita melihat mereka seperti cermin: mimpi yang terhenti, hidup yang menguap di antara retakan trotoar. Kita berjalan terus, melewati graffiti di dinding, kata-kata kasar, warna-warna liar: "Tidak ada rumah, hanya ilusi."
(3)
Sebuah toko kecil buka di sudut jalan, lampu neon berkedip, seperti mata lelah pemiliknya. Kita masuk, membeli roti keras dan kopi pahit, "Selamat pagi," katanya, tapi tidak ada yang terdengar tulus. Di luar, anak-anak berlari di gang sempit, tawa mereka seperti bayangan masa lalu yang tak kita kenal lagi.
(4)
Malam datang dengan lambat, lampu-lampu mulai menyala, membentuk pola di atas trotoar. Kita duduk di halte yang rusak, mendengar orang berbicara, tentang pekerjaan yang hilang, tentang harga yang tak pernah turun. Seseorang bertanya, "Apa kita ini berjalan ke depan, atau hanya memutar di lingkaran yang sama?" Kali ini, ada yang tertawa. Pahit.
(5)
Di akhir jalan, sebuah taman kecil menunggu, patung-patung tua berdiri, mengawasi dengan mata kosong. Kita berhenti sejenak, menatap langit yang mulai terbuka. "Mungkin ini tempatnya," seseorang berkata, tapi tidak ada yang yakin. Angin membawa bau bunga layu, dan di kejauhan, sebuah stasiun menunggu: tempat untuk pergi, atau mungkin kembali.