Lukisan itu menggantung di dinding putih. Dua hiu paus berenang dalam selubung cumi. Mulut terbuka. Menangkap apa saja yang lewat. Aku pikir, ini pertanda. Tapi bulan purnama hanya bercahaya, tidak bicara.
Kau pernah bilang, kita bukan bahan untuk jadi orang tua. Aku tertawa. Pura-pura setuju. Meski kata-kata itu menusuk seperti pecahan gelas kaca. Di kamar sempit dengan kasur anginmu, kau susun dunia dari buku-buku berserakan.
Kita membaca isyarat di tempat-tempat yang salah. Aku melihat bayi di bawah laut lukisan itu. Kau melihat tumpukan utang, kontrakan, dan rasa lelah yang belum sempat tidur. Kita hidup dari teka-teki. Tapi tak pernah menemukan jawaban.
Sekarang kau berjalan dengan bulan sabit di perutmu. Kosong, besar, tak seimbang. Lukisan itu memanggilku seperti suara air pasang. Seperti sebuah kartu tarot yang menolak ditafsir. Apakah semuanya harus punya makna?
Aku belajar melepaskan gravitasi, cerita-cerita yang menggumpal di tenggorokan. Di bawah air, aku melihat bayangan kita tenggelam. Tanpa napas, tanpa beban. Hanya ikan-ikan. Berenang perlahan. Melewatiku seperti malam yang tak peduli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H