1.
Mereka bilang kau datang jauh
dalam kotak kayu penuh harapan;
murbei, kesemek, pohon ara Â
di tanah yang tak kenal asalmu. Â
Kau cari isyarat, nada rendah Â
di tengah musim kawin yang menunggu Â
sementara bau ketumbar Â
tak pernah kau tinggalkan. Â
2.
Pertama Cirebon, lalu Karawang, Â
naik lagi ke Bogor. Â
Kau tahu jalan lebih baik Â
daripada peta mana pun. Â
Hanya bayanganmu yang tertinggal Â
di sisi truk yang kau tumpangi. Â
Di sela sawah, kacang tanah, kedelai, Â
kau bertahan;
tanpa ucapan selamat datang. Â
3.
Malam itu, istriku membangun layar,
selembar putih dengan lampu di belakangnya. Â
Dia mencari sesuatu, Â
tapi bukan dirimu. Â
Kau bersembunyi di sini, Â
di sela rak dan jendela retak, Â
mengintip seperti tamu yang terlambat Â
di pesta yang tak pernah kau diundang. Â
4.
Ketika penghangat dinyalakan,
kau keluar, menari di udara
seperti kata-kata yang tak pernah selesai. Â
Gila, liar, kau terbang;
bau asingmu menyebar, Â
membongkar rahasiamu:
bukan siapa kau,
tapi mengapa kau datang. Â
5.
Di luar, pohon flamboyan mekar,
pir Asia dan jagung berbisik
tentang tanah yang pernah jadi rumah.
Tapi kau, perantau tanpa nama,
tak punya cerita kecuali jalan
yang tak akan kembali.
Kau adalah puisi yang tertinggal di tengah bait,
dihisap cahaya, hilang
tanpa jeda atau akhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H