Mohon tunggu...
Gilang Pinangraha
Gilang Pinangraha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Gilang Pinangraha hobi menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Meningkatnya Perokok di Indonesia

15 Mei 2023   02:19 Diperbarui: 15 Mei 2023   07:19 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Thinkstock) via Kompas.com

Jumlah perokok di Indonesia terus meningkat seiring berjalannya waktu. Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang diluncurkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), terjadi penambahan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021. Meskipun prevalensi merokok di Indonesia mengalami penurunan dari 1,8% menjadi 1,6%. Dan yang lebih parahnya lagi, perokok anak pun terus meningkat. Perilaku merokok anak ini sudah menjadi masalah yang besar. Data Riskesdas 2018 yang menunjukkan perokok anak meningkat menjadi 9,1 persen atau 3,2 juta anak.

Jumlah yang meningkat ini dapat dipengaruhi oleh harga rokok yang murah, kemudahan mendapatkan rokok, serta akibat pergaulan dari teman. Teman ini menjadi pengaruh yang sangat besar, karena banyak dari mereka yang awalnya tidak merokok menjadi merokok karena dorongan teman, tidak enak untuk menolak, dan juga ingin terlihat 'keren' di depan teman-temannya, karena pada dasarnya mayoritas anak-anak perokok mereka hanya merokok ketika bersama teman-temannya, bukan karna stimulan dan stres. Berbeda dengan perokok dewasa, mereka merokok karena adanya efek stimulan, merasa lebih santai, stres, dan meringankan kecemasan.

Awal mereka merokok, baik anak muda maupun yang sudah dewasa biasanya mengalami sesak, batuk dan rasa tidak enak. Pada tahap ini adalah tahap penentu untuk kedepannya apakah mereka akan menjadi perokok aktif atau tidak, jika mereka masih mencoba rokok itu sampai akhirnya ketagihan, maka mereka akan menjadi perokok aktif, tetapi jika sudah berhenti maka akan selamat dari belenggu rokok. Jika sudah menjadi perokok aktif, maka akan susah untuk keluar dan berhenti merokok, karena dalam tembakau rokok terdapat nikotin yang dapat membuat pemakainya mengalami kecanduan. Perokok di Indonesia tidak mengenal usia, derajat sosial, agama. Hampir setiap kita jalan pasti menemui adanya perokok. 

Padahal dampak dari rokok itu seperti yang sering kita dengar pastinya sangat berbahaya, mengutip dari kemkes.go.id bahaya rokok yaitu penyakit paru-paru kronis, merusak gigi dan menyebabkan bau mulut, menyebabkan stroke dan serangan jantung, tulang mudah patah, gangguan pada mata salah satunya seperti katarak,menyebabkan kanker leher rahim, dan keguguran pada wanita, dan menyebabkan kerontokan rambut. Dampak-dampak ini tidak akan hanya terjadi pada perokok itu saja, tetapi orang yang disekitarnya yang menghirup asap rokok tersebut akan terkena dampak tersebut. Selain itu, asap rokok juga menyebabkan kerusakan lingkungan. Jika perokok itu sakit, jika yang sakit adalah perokok anak usia dini, maka akan membuat repot orang tua nya karena harus mengeluarkan biaya dan tenaga untuk mengobati anak tersebut. Jika yang merokok adalah orang dewasa, waktu dan uang dia akan berkurang karena biaya pengobatan terebut. Terlebih jika dia sudah berkeluarga, maka biaya kehidupan keluarganya harus terpotong karena pengobatan. Jadi merokok itu tidak hanya merugikan sang perokok tersebut, tetapi orang disekitarnya dan lingkungan.

Berbagai solusi sudah dilakukan untuk mengatasi permasalahan rokok di Indonesia. Seperti memperbesar peringatan di bungkus rokok, dilarang dijual untuk anak dibawah usia 18 tahun, melarang penjualan rokok eceran, hingga menaikan harga rokok, namun tetap saja tidak memberikan dampak yang besar atau penurunan perokok di Indonesia, karena efek candu sudah susah dilepaskan sehingga apa pun akan dilakukan untuk mendapatkan rokok tersebut. 

Memperbesar peringatan rokok sama sekali tidak mempengaruhi perokok untuk berhenti merokok, karena pada dasarnya mereka sudah mengetahui dampak-dampak dari rokok tersebut, tetapi jika persepsi mereka sudah kuat maka itu tidak akan berpengaruh besar pada perokok.

Pelarangan penjualan rokok dibawah usia 18 tahun juga tidak memberikan efek yang signifikan, karena pelarangan itu hanya ada di minimarket saja, jika penjualan di warung warung tetap akan terjual ke anak usia dini, karena bagi mereka keuntungan yang pertama, permasalahan yang membeli adalah anak usia dini bukan suatu masalah bagi mereka.

Melarang penjualan rokok eceran juga merupakan suatu solusi dengan masalah yang sama seperti pelarangan penjualan dibawah usia 18 tahun, karena pada dasarnya, warung yang sering dijumpai mengutamakan keuntungan dibandingkan kesehatan mereka, sehingga penjual eceran masih bisa ditemukan dan sulit untuk dikendalikan.

Menaikkan harga rokok inilah yang terasa lumayan efektif, karena mereka harus berfikir dua kali untuk mendapatkan rokok tersebut dengan harga mahal, karena di satu sisi, mereka masih mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi, tetapi tetap saja, bagi mereka banyak yang mengorbankan makan untuk membeli rokok, seperti contohnya jika awalnya mereka makan 3 kali sehari setelah kenaikan rokok tersebut, mereka makan menjadi 1 sampai 2 hari sekali saja demi bisa membeli rokok, bagi anak usia dini, mereka masih bisa membeli rokok secara eceran yang dapat ditemukan di warung. Prof. Candra Fajri Ananda mengatakan bahwa kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok untuk usia 15 tahun ke atas, karena variabel harga rokok bukanlah faktor utama yang membuat seseorang berhenti merokok. Menaikkan harga rokok juga mempunyai masalah sendiri, karena produksi rokok merupakan salah satu sumber penerimaan terbesar di Indonesia.

hasil kajian PPKE FEUB juga menyatakan bahwa kenaikan tarif cukai dan harga rokok dalam beberapa tahun mengakibatkan penurunan yang signifikan pada jumlah pabrikan rokok. Menurut Prof. Candra Fajri Ananda, kenaikan harga rokok membuat volume produksi pabrikan rokok menjadi turun, mulai pabrikan Golongan 1 hingga Golongan 3. Hal ini tentu berpotensi menurunkan penerimaan negara dan meningkatkan peredaran rokok ilegal.

Lebih jelasnya, kenaikan tarif cukai sebesar 23% dan HJE meningkat 35% di tahun 2020 sebagaimana diatur dalam PMK 152/2019, berdampak pada penurunan volume produksi rokok hingga minum 9,7%. Serta, meningkatkan peredaran rokok ilegal hingga 4,8%. Maka dari itu pemerintah perlu mengkaji ulang dan berhati-hati terhadap kebijakan cukai rokok yang ada di Indonesia, jangan sampai membuat penerimaan negara menjadi berkurang tetapi perokok di Indonesia tetap meningkat.

Salah satu peraturan yang dapat diikuti yaitu di negara Singapura. Prevalensi perokok di kalangan siswa sekolah menengah, politeknik, dan Institut Pendidikan Teknik turun dari 8% (periode survei: 2011-2013) menjadi 4% (periode survei: 2014-2016). Pada tahun 2017 ditemukan 9,9% dari penduduk berusia 18-29 tahun merupakan perokok. Angka ini menurun dari sebelumnya 17,2% pada tahun 2007. Pada 2017 diketahui rata-rata usia perokok di Singapura mulai merokok setiap hari adalah 18 tahun. (sumber: Wikipedia) Hal ini dikarenakan di negara tersebut dapat melalukan pembatasan secara luas, dari mulai tempat umum seperti stasiun, sekolah, bus, dan biskop hingga tempat hiburan malam, pub, bar, dan lounge dan diperluas lagi ke area Non-AC, blok perumahan, jembatan penyebrangan, radius 5 meter dari halte bus dan rumah sakit, dan jalan penghubung. Singapura juga punya aturan yang tegas untuk pelanggar aturan tersebut seperti denda minimal 200 dolar Singapura hingga maksimal S$1000 jika pada akhirnya dapat dibuktikan bersalah di pengadilan.

Hal inilah yang membuat perokok di Singapura menurun. Aturan seperti ini dapat diterapkan di Indonesia, sehingga perokok akan takut jika melanggar, dan dapat mengurangi perokok di Indonesia. Pemerintah harus tegas dalam menerapkan aturan jika ingin serius ingin menurunkan jumlah perokok di Indonesia.

Hal lainnya adalah dari diri sendiri, tekad kuat untuk berhenti merokok adalah faktor yang besar untuk seseorang berhenti merokok, hal yang dapat memperkuat tekad tersebut adalah karena ingin menabung untuk menikah atau membeli sesuatu yang diinginkan, hal lainnya adalah karena terjadi penurunan kesehatan dan atau ingin menjadi pribadi yang sehat dan tidak ingin merugikan orang lain dan lingkungan. Tanpa adanya tekad yang kuat, susah sekali keluar dari jeratan rokok, maka dari itu mari berhenti merokok untuk diri sendiri dan orang lain.

Sumber tambahan:

https://www.pajakku.com/read/631aad4ffa33631a29760735/Sri-Mulyani-Sebut-Dampak-Cukai-Rokok-Naik-Tahun-Depan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun