Perjanjian BOT ( Build, Operate, and Transfer) adalah perjanjian untuk suatu proyek yang dibangun oleh pemerintah dan membutuhkan dana yang besar, yang biasanya pembiayaannya dari pihak swasta. Pemerintah dalam hal ini ialah menyediakan lahan yang akan digunakan oleh swasta guna membangun proyek. Pihak pemerintah akan memberikan ijin untuk membangun, mengoperasikan fasilitas dalam jangka waktu tertentu dan menyerahkan pengelolaannya kepada pembangunan proyek (swasta). Setelah melewati  jangka waktu tertentu proyek atau fasilitas tersebut akan menjadi milik pemerintah selaku pemilik proyek.
Seperti permasalahan PT HIN (PT Hotel Indonesia Natour)  menyerahkan kasus  dugaan kecurangan dan pelanggaran surat kontrak kerjasama BOT PT Grand Indonesia kepada ranah hukum pidana karena negara disinyalir mendapatkan kerugian hingga Rp. 1,29 T. PT HIN menilai bahwa pihak PT Grand Indonesia telah menyalahi kontrak dengan membangun dua bangunan tambahan yaitu Menara BCA dan Apartemen Kempinski.
Tetapi semua itu dibantah, Perjanjian antara PT HIN, PT CKBI, dan PT GI menurut Harris, juga telah disetujui oleh Dewan Komisaris dan pemegang saham PT HIN cq Menteri Negara BUMN melalui surat resmi yang intinya memberikan persetujuan kepada Suseto untuk menandatangani Perjanjian BOT. Â Perjanjian yang ditandatangani ini merupakan perjanjian pemanfaatan lahan yang dimiliki PT HIN untuk dibangun dan dikelola untuk jangka waktu tertentu.
Sebenarnya, Kerjasama BOT justru menguntungkan negara. PT Grand Indonesia telah mengeluarkan total investasi Rp. 5,5 T dalam proyek tersebut. Angka tersebut jauh lebih besar dari ketentuan yang tercantum dalam perjanjian BOT yang mensyaratkan nilai investasi penerima hak BOT yang mensyaratkan nilai investasi penerima hak BOT sekurang-kurangnya Rp. 1,2 T. selain itu, negara juga mendapatkan pemasukan dari kewajiban pembayaran pajak penghasilan dari pendapatan atas sewa yang perhitungannya adalah 10% dari total pendapatan Grand Indonesia. Sejak dilakukan kerjasama BOT, PT HIN mendapatkan penerimaan berupa kompensasi BOT sebesar Rp. 134 M atau rata-rata Rp. 10,3 M /tahun. Kompensasi ini lebih besar dari nilai manfaat tanah. (Baca)
Kemudian, sesuai dengan Pasal 9 dan 11 perjanjian itu, PT Grand Indonesia wajib membangun hotel bintang lima, dua pusat perbelanjaan, fasilitas parkir, dan fasilitas penunjang lainnya. Grand Indonesia juga wajib menyediakan kantor untuk operasional PT HIN di lokasi gedung yang dibangun. Maka, perjanjian BOT dan pembangunan gedung-gedung di area lahan BOT adalah sah dan sesuai dengan ketentun hukum yang berlaku. (Baca)
Kejagung menyalahi prosedur, kenapa menyimpulkan adanya unsur pidana, itu sama saja seperti memidanakan hukum perdata, atau dengan kata lain memasukan tindak pidana ke dalam hukum perdata. Hal tersebut tidak boleh. Banyak kasus perdata yang tidak terbukti ada pelanggaran pidana, tiba-tiba dimasukan dalam ranah pidana. Sebab, prosedur untuk mengkajinya dilompati. Dengan adanya kasus tersebut, Kejagung harus mampu membuktikan apakah benar ada unsur pidana? Sebab, prosedur untuk eksaminasi saja belum dilakukan. (Baca)
Sebaiknya Kejagung harus adil, jangan semena-mena memasukan kasus perdata tersebut menjadikan kasus pidana karena satu pihak. Karena, pada dasarnya Perjanjian BOT dinilai perjanjian bisnis yang masuk ranah perdata, maka apabila dikemudian hari ditemukan ada kelemahan ataupun kekurangan, para pihak yang mengikat perjanjian tersebut semestinya diperbaiki. Bukan sebaliknya, secara sepihak, membawa masalah itu ke ranah pidana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H