[caption id="attachment_339401" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi Kompasiana / Shutterstock"][/caption]
Pada hakikatnya globalisasi informasi dan komunikasi setiap media massa, melahirkan suatu efek sosial yang mengandung perubahan-perubahan nilai-nilai sosial dan budaya manusia. Tayangan-tayangan pada sinema elektronik seperti pada media televisi sangat memberikan pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat, baik dalam hal psikologis maupun perubahan perilaku.
Sebuah kreatifitas memang sulit untuk dibatasi, karena untuk mendapatkan suatu karya yang baik dari sebuah kreativitas dibutuhkan sebuah ide yang cemerlang. Sebuah ide yang cemerlang biasanya datang dari suatu pemikiran atau fantasi atau mimpi yang diluar batas (Out of The Box). Dalam dunia periklanan, para pelaku iklan yang biasa disebut sebagai advertising agency, mempunyai sumber daya manusia yang mayoritas memiliki tingkat kreatifitas yang unik dan menarik, yang dapat di visualisasikan dalam bentuk visual (video, gambar, ilustrasi, dan tulisan) atau pun dalam bentuk audio (suara).
Dewasa ini, dalam mengembangkan suatu kreatifitas dalam suatu bidang, haruslah sesuai dengan nilai dan norma dalam suatu bidang pada khalayak umum tersebut. Di Indonesia, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika pada setiap perilaku kehidupan sehari-hari. Dalam hal beriklan pun, para pelaku iklan juga harus mematuhi apa saja yang telah diatur dalam UU Penyiaran atau UU Pariwara Indonesia yang telah diatur agar sejalan dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat. Dewan Periklanan Indonesia (DPI) telah mengkaji tata krama dan tata cara beriklan pada pedoman UU Penyiaran dan UU Pariwara di dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI).
Etika Pariwara Indonesia (EPI) merupakan pedoman dalam periklanan di Indonesia, yang mempunyai konten berupa konten-konten normatif mengenai tata krama dan tata cara, menyangkut profesi dan usaha periklanan yang telah disepakati untuk dihormati, ditaati, dan ditegakkan oleh semua asosiasi dan lembaga pengembannya. (EPI, 2007)
Segala tata krama dan tata cara beriklan di Indonesia, telah diatur dalam pedoman Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang dikaji dan diawasi oleh Dewan Periklanan Indonesia (DPI). Ketatnya penyaringan dan pengawasan dari Dewan Periklanan Indonesia (DPI) mengacu pada Etika Pariwara Indonesia (EPI), membuat produk-produk yang ingin mengiklankan produknya ‘memutar otak’ untuk dapat menyajikan iklan kreatif serta memiliki pesan yang baik, kompherensif, dan edukatif bagi masyarakat di seluruh Indonesia.
Pedoman EPI ini juga turut memberikan dampak yang positif bagi perkembangan nilai dan norma serta pemikiran audience untuk selalu berfikir positif dan cerdas. Salah satu fenomena yang menjadi salah satu fokus EPI adalah menutup ruang gerak bagi eksploitasi dan pemanfaatan pornografi dalam periklanan.
Terdapat tiga pasal UU yang mengatur tentang penyiaran dan pariwara, diantaranya :
1. UU RI NO 32 TAHUN 2002
TENTANG PENYIARAN
Pada Pasal 46 ayat 3 poin D dan E, berbunyi :
D. Hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama; dan atau
E. Eksploitasi anak dibawah usia 18 tahun.
Pada Pasal 46 ayat 6, berbunyi :
(6) Siaran iklan niaga yang disiarkan pada mata acara anak-anak wajib mengikuti standar siaran untuk anak-anak.
2. Seperti yang sudah dikaji pada pedoman EPI pasal 1 poin 26 tentang Pornografi dan Pornoaksi, yang berbunyi :
Iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan cara apapun, dan untuk tujuan atau alasan apapun.
3. Pasal tersebut terkait dengan pedoman EPI pasal 1 poin 27 tentang Khalayak Anak-anak, berbunyi:
Ayat 1
Iklan yang ditujukan kepada khalayak anak-anak tidak boleh menampilkan hal-hal yang dapat mengganggu atau merusak jasmani dan rohani mereka, memanfaatkan kemudahpercayaan, dan kekurangpengalaman, atau kepolosan mereka.
Ayat 2
Film iklan yang ditujukan kepada, atau tampil pada segmen waktu siaran anak-anak dan menampilkan adegan kekerasan, aktivitas seksual, bahasa yang tidak pantas, dan atau dialog yang sulit wajib mencantumkan kata-kata “Bimbingan-bimbingan Orangtua” atau simbol bermakna sama.
Isu pornografi dan pornoaksi menjadi masalah yang serius di setiap negara, baik negara maju maupun berkembang. Karena pornografi dan pornoaksi dapat memberikan efek samping yang sangat merusak bagi pikiran dan moral seseorang.
Hal yang sangat ditakutkan apabila pedoman EPI tidak mengkaji mengenai pornografi dan pornografi atau konten yang tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak secara jelas, bisa dibayangkan bagaimana dampak buruk yang akan terjadi terutama bagi anak-anak bangsa ini.
Bagi para pelaku iklan yang dalam eksekusi iklan melakukan pelanggaran dari aturan yang diatur dalam pedoman EPI. Maka, Dewan Periklanan Indonesia (DPI) akan memberikan teguran keras bahkan sampai pencabutan hak siar iklan tersebut. Walaupun dalam praktiknya, masih ada saja iklan-iklan dari merek tertentu yang melakukan pelanggaran-pelanggaran, baik berat maupun ringan.
Menurut saya, pedoman EPI ini sangat memberikan tuntunan bagi para pelaku iklan baik brand dalam ataupun luar negeri. Selain itu, sisi positifnya adalah memberikan suatu tantangan bagi para advertising agency untuk selalu berkreasi, berfikir kreatif, dan menghasilkan kreatifitas yang selalu berkembang dari waktu ke waktu.
Saya berharap semoga para pelaku iklan dan klien-klien dari brand yang akan beriklan, dapat membuat ide-ide yang lebih kreatif, pesan yang efektif, dan edukatif. Selain itu juga, tidak menganggap pedoman EPI sebagai ‘penjara kreatifitas’, melainkan sebagai tuntunan dalam berkreatifitas. Terakhir, semoga industri periklanan di Indonesia dapat turut serta sebagai agen sosial pembentukan moralitas bagi para penerus bangsa di masa depan.
Referensi :
Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia) Cetakan ketiga - September 2007.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H