Mohon tunggu...
Gilang Gimnastian
Gilang Gimnastian Mohon Tunggu... -

Kita tak pernah menanamkan apa-apa. Kita tak pernah kehilangan apa-apa. -Soe Hok GIe

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ditengah Lamunan : Mengatasi Kemacetan Di Kota Bandung

3 Desember 2016   23:09 Diperbarui: 3 Desember 2016   23:40 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita ketahui bahwa sekarang sekarang ini bandung terasa macet, semakin hari semakin parah, lama lama kita berpikir skeptis beberapa tahun kedepan Bandung akan terasa seperti Jakarta, kota yang berhawa panas penuh dengan polusi membuat masyarakat terasa gerah. Bandung yang disebut-sebut Paris Van Java karena bandung adalah kota yang begitu sejuk menjadi kehilangan arti yang sesungguhnya.

Macet jalanan di kota Bandung membuat banyak orang terkadang frustasi, karena berkejaran dengan waktu, yang biasanya kesuatu tempat membutuhkan anggap saja setengah jam sekarang waktu tempuh untuk mencapai suatu tempat bisa berlipat lipat. Selain itu kita ambil contoh kerugian finansial di Jakarta karena kemacetan pada tahun 2015 mencapai 65 triliun pertahun. Belum lagi kerugian non-finansial seperti kondisi psikologi pemakai jalan maupun efek domino lain seperti berkurangnya produktifitas masyarakat akibat kemacetan. Bagaimana Bandung kedepan?  

Saya berpikir dan melihat dengan nyata bahwa kemacetan disebabkan oleh volume kendaraan yang dari waktu kewaktu semakin banyak, ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama mengenai kebijakan pemerintah (Bank Indonesia) yang menetapkan Down Payment (DP) yang terus diturunkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi dalam hal ini kebijakan DP Kredit Kendaraan Bermotor, bahkan beberapa perusahaan pembiayaan yang bekerja sama dengan perusahaan penjual kendaran menawarkan DP di bawah kebijakan yang ditetapkan. Kedua, masyarakat Indonesia sudah terkenal dengan budaya konsumtif dan bergengsi. Apabila tidak memiliki kendaraan bermotor rasanya tidak berprestise. melihat juga kenyataan sekarang bahwa khususnya di kota Bandung beberapa anak-anak SMP sudah menggunakan sepeda motor, anak-anak SMA sudah menggunakan mobil untuk pergi bersekolah, apalagi yang pergi untuk kuliah dan bekerja.

Dari sisi bisnis, karena bangsa kita terkenal dengan sifat konsumtifnya juga masyarakat yang begitu banyak menjadikan suatu pasar yang menjanjikan bagi pelaku bisnis di bidang otomotif. Selain itu sudah lama pelaku bisnis otomotif ini mencengkramkan modalnya di Indonesia, banyak orang yang menggantungkan hidupnya di dalam bisnis ini. Ketika bisnis ini dikurangi bahkan dihilangkan berapa juta orang yang putus kerja dan berdampak multiplier terhadap bisnis yang mensupply komponen-komponen kendaraan seperti industri ban, kaca, jok dll. Menjadi suatu hal yang dilematis.

Dari sisi pemerintah, khususnya pemerintah provinsi jawa barat. Pendapatan Asli Daerah (PAD) salah satu yang berkontribusi besar dalam pendapatan dalam bentuk pajak pemerintah provinsi adalah pajak kendaraan bermotor. Untuk melakukan pembangunan suatu daerah seperti pembangunan infastuktur, sarana publik dan pendidikan sumber dana pajak menjadi suatu yang utama, tidak bisa di pungkiri pemerintah provinsi tetap bergantung pada industri otomotif ini untuk sumber pendapatan pajaknya.

Problematika di kota bandung sendiri dari sisi biaya dan waktu sangatlah tidak efisien untuk bepergian ke suatu tempat. bayangkan saja rumah seseorang berada di panyileukan yang bersekolah di ciwastra ongkos naik angkot panyileukan hingga ruing bandung membutuhkan Rp.3000, lalu naik angkot dari riung bandung ke ciwastra dengan ongkos Rp.3000. Jadi jumlah ongkosnya sehari adalah Rp.6000 plus ditambah ongkos pulang semuanya jadi Rp.12.000 dalam sehari, belum lagi harus menderita kemacetan yang memakan waktu. Bandingkan jikalau menggunakan motor hanya mengisi bensin Rp.10.000 bisa bolak balik panyileukan-ciwastra sebanyak dua kali. Jadi begitu tidak efisiennya menggunakan kendaraan umum, maka orang realistis memilih menggunakan kendaraan pribadi. Pun ada juga bus gratis yang disediakan oleh pemeritah kota bandung tidak membuat orang tertarik untuk menggunakan fasilitas ini.

 Berdasarkan fenomena-fenomena diatas kita ketahui bahwa mengurai kemacetan di kota Bandung begitu sulit, penuh dengan dilematis. Akan tetapi di beberapa negara di asia seperti jepang dan di kawasan eropa mereka bisa mengurangi kemacetan karena bertambahnya volume kendaraan. Sebagai negara yang berkembang kita perlu belajar dari negara negara tadi. Seperti di jepang, penerapan pembatasan tingkat emisi setiap kendaraan mungkin dapat diterapkan dan rasanya sangat realistis untuk mengurangi kemacetan di kota Bandung. Di negara ini setiap kendaraan ditempeli stiker sertifikasi uji emisi yang dilengkapi dengan masa berlaku dan batas waktunya. Jika mobil ini melewati batas waktu yang telah ditentukan maka polisi akan menilang kendaraan tersebut. 

Setiap mobil baru di jepang terlebih dahulu harus dilakukan uji emisi, batas waktu uji emisi pertama adalah 3 tahun kemudian 2 tahun setelahnya, agar performa kendaraan selalu ramah lingkungan maka dari hasil uji emisi diharuskan untuk mengganti suku cadang kendaraan yang sesuai. Dampak dari kebijakan ini memungkinkan biaya yang sangat besar untuk mengurus kendaraan, sehingga orang orang yang memiliki kendaraan dengan natural akan berpindah menggunakan kendaraan umum, pun jikalau ada orang yang masih memiliki daya beli untuk membeli kendaraan mereka akan membeli kendaraan yang baru. Sehingga volume mobil yang ada di jalanan tetap konstan dan tidak mengalami peningkatan tajam.

Dari sisi pengaturan pajak mengenai pajak kendaraan bermotor jepang menerapkan suatu metode dimana semakin tua tahun kendaraan maka pajaknya akan semakin tinggi (berbanding terbalik dengan di Indonesia). Karena jepang berpendapat bahwa semakin kendaraan beumur lama maka akan memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Ketika peraturan ini berlaku memungkinkan orang akan malas untuk menggunakan kendaraan tua, dan mengganti dengan kendaraan baru, pun jika tidak mereka akan berpindah untuk menggunakan kendaraan umum. Pula masalah di industri otomotif mereka akan tetap hidup karena orang masih ada yang membeli mobil baru, juga dari sisi perpajakan pemerintah masih bisa mendapatkan pajak dari kendaraan mobil baru.

Untuk menciptakan daya beli dari sisi konsumsi khususnya konsumsi kendaraan bermotor, kebijakan down payment rendah masih dapat diterapkan agar terjadi keseimbangan. Karena dari segmentasi bisnis, perusahaan-perusahaan masih perlu menggunakan kendaraan untuk menjalankan usahaanya sehingga permintaan kendaraan dari segmen bisnis cukup banyak dan industri kendaran bermotor masih tetap hidup.

Ketika orang-orang secara sendirinya berpindah transportasinya ke kendaraan umum maka yang harus dilakukan pemerintah adalah memberikan sarana transportasi umum yang murah dan efisien seperti kereta api dan bus. Sistem perpajakan dibangun untuk kepentingan masyarakat salah satunya adalah membuat fasilitas umum termasuk transportasi. Karena sumber dana pemerintah berasal dari pajak yang di pungut dari masyarakat, tidak salah pemerintah memeberikan fasilitas transportasi umum dengan murah bahkan gratis, karena toh pajak adalah uang gotong royong dari masyarakat. Dari sisi pelayanan, diperlukan jumlah unit transportasi umum agar selalu tepat waktu ketika tiba ditempat menunggu, jadwal yang tepat waktu dan informatif.

Setelah itu pemerintah melakukan sentralisasi industri dengan mengatur ulang tata ruang kota yang menunjang mengurangi kemacetan di bandung, sehingga memudahkan untuk menata jalur transportasi umum yang sudah dibuat oleh pemerintah. Mendorong juga para pelaku industri agar dapat menjaring sumber tenaga kerja dari tempat mereka beroprasi atau berproduksi, sehingga orang-orang tidak bepergian kerja yang jauh dari tempat tinggalnya sehingga kemacetan dapat berkurang. Semua itu perlu adanya keberanian dari semua orang yang berkepentingan, juga begitu skeptis dalam menjalankannya karena banyak pertentangan dan yang dikorbankan dari semua yang saya ungkapkan.

Mungkin itu hanya seberapa dari saya yang tidak apa apa, saya setiap kali pergi ke kantor merasakan kemacetan dan sering melamun di jalan dari cibiru ke kopo.

Oleh : Gilang Gimnastian Abdullah 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun