Oleh: Gilang Gimnastian Abdullah
Memilih demokrasi yang tepat untuk indonesia merupakan suatu pilihan yang sangat kompleks. Perdebatan ketetapan hasil rapat paripurna RUU Pilkada di DPR-RI kemarin begitu menuai kontroversi. Demonstrasi penolakan RUU pilkada yang bersubtansi dimana Gubernur, Walikota, dan Bupati dipilih oleh DPRD terjadi dimana-mana karena dengan mekanisme pemilihan kepala daerah tersebut sama dengan merampas hak politik rakyat dalam memilih pemimpinnya dan mewarisi budaya demokrasi seperti zaman orde baru. Belum lagi para kepala daerah menolak atas hasil rapat paripurna tersebut karena mereka tidak ingin maju menjadi kepala daerah apabila tidak dipilih secara langsung oleh rakyat.
Koalisi Merah Putih (KMP) mengklaim bahwa demokrasi atau pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung sekarang yang dilakukan oleh bangsa indonesia sekarang ini adalah demokrasi liberal, demorkasi ini tidak sesuai dengan marwahnya – pancasila sila ke-4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Lalu demokrasi atau pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung menghasilkan biaya yang mahal hingga pada akhirnya putra-putri bangsa yang potensial sulit untuk mencalonkan diri karena biaya demokrasi yang mahal, suap menyuap ketika sengketa pilkada yang paling mengerikan bagi penulis: karena hakim konstitusi selayaknya perwakilan Tuhan di muka bumi untuk bersikap adil disuap! Seperti kasus yang menjerat Gubernur Banten – Ratu atut pada beberapa waktu lalu.
Sebagai antitesis dari pernyataan KMP yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) berbeda pendapat bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan menstimulus perilaku korupsi di tingkat DPRD dimana anggota dewan disuap oleh calon kepala daerah untuk memuluskan hasrat dan syahwat politiknya memperoleh kekuasaan dan begitu ada isu santer juga bahwa atas ketetapan pemilihan kepala daerah oleh DPRD kemarin para calon kepala daerah yang pemerintahaan didaerahnya akan habis masa jabatannya sudah berkomunkasi dan telah menyiapkan uang untuk para anggota dewan, selain itupun begitu tidak fairnya ketika konstelasi politik parlemen didaerah dikuasai oleh suatu koalisi tertentu dan calon yang di usung dari partai koalisi tersebut akan memenangkan pilkada karena apabila musyawarah mufakat tidak mencapai kesepakatan maka akan dilakukannya voting, maka dengan demikian calon dari anggota partai koalisilah yang memenangkannya.
Dengan demikian berdasarkan asumsi diatas dapat dilihat titik sentral yang dipermasalahkan di dalam masing-masing opsi penyelenggaraan demokrasi adalah masalah korupsi atau KKN. Korupsi merupakan suatu hal yang sulit untuk diberantas habis hingga mencapai akarnya meski revolusi atau reformasi telah dilakukan. Permainan penguasa dalam kekuasaan membuat rakyat naik darah karena melihat aksi korup pejabat-pejabat di semua bagian Trias Politica – Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif dan bahkan kita insyafi diri tatanan masyarakat kita juga sudah terjangkit penyakit kronis korupsi ini. Korupsi sudah menggerogoti aspek berkehidupan bangsa indonesia, coruption mind menyebabkan demoralisasi dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan.
Secara ideologis pemilihan kepala daerah oleh DPRD memang secara integral sesuai dengan ajaran – pancasila karena konsepsinya hak-hak dan tuntutan rakyat disalurkan melalui perwakilan-perwakilannya di DPR. Setelah reformasi jalannya demokrasi berubah haluan karena tuntutan menjalan pemilihan secara langsung tidak ingin adanya dominasi tirani seperti zaman orde baru. Dengan demikian sekarang demokrasi yang kita lakukan adalah demokrasi liberal. Melihat banyaknya protes, penolakan, dan demonstrasi tentang pemilihan kepala daerah oleh DPRD, apakah demokrasi pancasila hanyalah sebuah ilusi semata? Apakah demokrasi pancasila tidak sesuai lagi dengan realitas bangsa kita sekarang ini, yang merampas hak rakyat? Bagi penulis demokrasi perlu dilakukan pada bangsa yang cerdas, dan demokrasi harus dilakukan berdasarkan asas kebenaran universal dengan mendahulukan hak-hak rakyat secara umum dan berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan umat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H