Mohon tunggu...
Gilang Wirakusuma
Gilang Wirakusuma Mohon Tunggu... -

Saya pemuda yang terlahir dan dibesarkan di lingkungan yang pnuh dengan keragaman...Sesuatu yang indah saat saya memahami dan mengenal corak keragaman itu sebagagi "Lukisan Tuhan". Religi yang saya anut adalah Islam, Ideologi yang mengayomi kehidupan bermasyarakat saya adalah Pancasila.Saya bangga menjadi putra bangsa indonesia, walaupun saya merasa belum cukup untuk berkarya bagi bangsa ini. Prinsip hidup saya adalah 'Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin dalam kegelapan itu'. Saya belum layak untuk mengkritik, selama saya belum mampu berbuat sesuatau bagi orang lain dan bangsa ini..... saya menyukai balita karena tingkah mereka yang tulus dan lugu (bahkan sempat terpikir ingin menjadi guru TK). Kesederhanaan mereka adalah inspirasi bagi saya...

Selanjutnya

Tutup

Nature

Cintaku Tertinggal di Malioboro

22 September 2010   12:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:03 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Itulah kalimat yang terlintas di benak aya ketika setiap minggu menyusuri jalan Malioboro Jogjakarta. Seperti tidak jengahnya seorang pujangga menorehkan kata untuk karyanya. Keunikan dari kota Jogja yang terwakili oleh sepintas 'jalan' yang menawarkan berbagai hasil karya, cipta, karsa masyarakat. Kemerdekaan berekspresi dalam koridor norma yang berlaku adalah modal utama yang membuat Jogja menjadi kota yang BERHATI NYAMAN. Bung Karno pernah menyampaikan, "Jogja menjadi termahsyur karena Jiwa Kemerdekaannya!". Ungkapan tersebut merefleksikan sebuah hasil dari konsistensi masyarakat Jogja yang memilki toleransi (dan mereka paham batas tentang kebebasan,tentunya!) mengenai KARSA yang berbeda-beda pada tiap orang. Dalam hal refleksi ekonomi, Malioboro menyuguhkan sinergisitas antara Pedagang kaki lima  dan pemilik modal besar. Toko modern berjajar sepanjang Malioboro, kaki lima seakan 'menyelimuti' mukanya. Tak ada saling tendang antara dua pelaku ekonomi yang memilki kepentingan masing-masing. Toleransi untuk berkompetisi dalam merayu konsumen, tak ada pihak yang berusaha memonopoli hak berjualan. Inilah wujud dari keseimbangan antara kapitais dan kaum pemilik modal kecil. Berjalan di Malioboro tak membuat saya pernah letih untuk terus menapakkan kai,. Berjalan di jalan ini, membuat saya lebih memahami arti hidup sebagai makhluk sosial. Berjalan di sini, di Malioboro..CINTA pada Kesederhanaan, CINTA pada Keseimbangan, CINTA pada Keindahan snantiasa tumbuh... Dan siapapun Anda yang menginjakkan kai di jalan ini...Jangan ragu tuk katakan "CINTAKU TERTINGGAL DI MALIOBORO" Dan semoga kita dapat hidup berdampingan dalam perbedaan ...... [caption id="attachment_265756" align="alignleft" width="234" caption="Perbedaan yang menambah "KEMESRAAN"..."][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun