Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lagu Kesepian Loper Koran

12 Agustus 2021   13:38 Diperbarui: 12 Agustus 2021   13:50 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Disadur dari detikNews.com

Siang hari ini amat terasa sangat terik, tak heran bila kemudian jalanan kota begitu lengang. Memang belum pernah saya temui penelitian terkait terik matahari dengan dampak yang diciptakannya seperti jalanan kota yang jadi lebih lengang. Namun beberapa waktu terakhir jalanan Ibukota memang nyaris jarang macet. Selain pengaruh kebijakan pemerintah mengurangi mobilitas warga, disisi lain nampaknya masyarakat pun sudah punya kesadaran mandiri akan bahaya wabah.


Orang intelek mengatakan bahwa fenomena tersebut terjadi karena kesadaran sosial publik yang mulai membaik. Sementara bagi orang awam yang hidup jauh dari gedung pencakar langit tak peduli apa-apa lagi. Toh mereka tak punya waktu untuk memikirkan ekonomi, isu politik, atau sekedar mencari jawaban atas apa yang sebenarnya terjadi dibalik kelengangan jalanan kota akhir-akhir ini, mengurusi perut sendiri pun mereka sudah tergopoh.


Agaknya saya terlalu jauh meracau, padahal tadi saya hanya merasa kepanasan didalam perjalanan menuju rumah. Awalnya saya ingin meminggirkan kendaraan yang saya pacu, namun trotoar pun sepi. Tak ada tukang kopi keliling, warung kopi, atau tempat-tempat bersahaja lainnya untuk ngaso bagi kelas protelar.


Dulu tak sulit mencari toko kelontong di tepi jalanan, tak terkecuali jaringan toko kelontong yang berasal dari Amerika Serikat yang bangkar pada tahun 2017 silam. Berkat gerai-gerai yang buka 24 jam tersebut, kita tak mesti blusukan masuk ke gang-gang kecil untuk mencari tempat ngopi yang bersahaja, kongkritnya murah bagi anak muda.


Saya mengingat toko kelontong "7-11" ketika memasuki jalan Matraman Raya, sebuah wilayah yang tak asing lagi. Selain saya tahu persis di tepi jalan ada bekas gerai 7-11, saya juga pernah menimba pelajaran sosialisme di sini. Selain membeli secangkir kopi/teh buat diuyup dalam tempo yang selambat-lambatnya, katakanlah saya juga membeli pergaulan dengan para akamsi (anak kampung sini) dari berbagai kalangan.


Sejak didaulat sebagai remaja, saya mulai betah berlama-lama di warung kopi, entah mengapa saya lebih doyan merentangkan pergaulan dan mencari kawan sebanyak-banyaknya di tempat ngopi (jauh sebelum film Filosofi Kopi rilis tentunya). Hal yang lumrah terjadi mestinya dan saya tak perlu kaget. Tapi saya selalu tergoda untuk menertawakan masa-masa yang sudah lampau itu.


Demi menghentikan pelbagai kecamuk dari isi kepala, saya mulai membelokan tujuan berkendara. Walaupun beda rute dengan jalan pulang menuju rumah, tak apalah demi mendinginkan kepala yang kepanasan barang sebentar. Meski tujuan tersebut agak gambling juga, sebab tak banyak warkop yang berani buka di masa darurat pandemi seperti sekarang ini. Peduli lah, kadang hidup perlu mencari jalan berliku sebab jalan lurus dan mulus kadang hanya bikin ngantuk.


***


Saya melihat seorang bapak terduduk sendiri di warung kopi, dengan tumpukan koran dihadapannya juga secangkir minuman yang terlihat seperti segelas teh gantung. 

Saya memang belum juga sampai ke warkop yang saya cari, saya kembali menghitung probabilitas apakah tempat yang saya cari itu buka atau tutup. Namun sebelum mendapatkan hasilnya, saya lebih tergerak menghentikan kendaraan sambil menilik ruang kosong untuk parkir.

"Kopi tubruk satu, mbak," pekik saya kepada penjaga warkop seraya membuka helm yang masih terpasang.

"Pahit atau manis, mas?" responnya.

"Formasi 1-3 aja (baca: gula satu sendok teh & kopi 3 sendok teh), mbak." jawab saya.

Beberapa saat mata saya kembali teralihkan kepada seorang pria yang masih saja terduduk sendirian. Setelah cukup memperhatikan dari jarak yang lebih dekat, beliau yang saya lihat nampak muram bagai Decul (fans Barcelona, read) yang tengah meratapi kepergian sang legenda, Lionel Messi, menuju salah satu klub borjuis yang bermukim di kota Paris.


Namun pembawaannya lebih dewasa dari sekedar pria yang tengah bermuram durja, sekalipun jika kedewasaan itu alakadarnya diukur dari seberapa banyak uban yang tumbuh di kepalanya.


Alih-alih menghitung uban, -- sambil menunggu kopi dibuat -- lebih baik saya menyapa sebelum duduk di seberang bapak tua itu "Sendirian aja, Bang? Numpang duduk boleh yah," upaya saya membuka percakapan.


Kata "Abang" biasa saya gunakan untuk menyapa seorang lelaki yang baru saya kenal, umurnya jauh di atas saya atau lebih muda daripada saya itu lain cerita. Begitu pula dengan kata "mbak", bedanya hanya diperuntukkan buat perempuan.


Tak lama setelah bapak yang saya sebut Abang tadi mempersilakan saya duduk, kopi yang dibuat seorang perempuan yang saya panggil mbak itu tiba di meja saya. Sekitar lima menit tidak ada percakapan apapun, dalam situasi canggung seperti ini biasanya saya meraih telepon genggam untuk mengecek pesan WhatsApp yang masuk atau sekedar berselancar di lini masa Twitter. Naasnya, hp saya koit.  Apesnya lagi, tak ada PB atau colokan yang bisa membantu.

Saya kian merasa canggung sebab keheningan kian menjadi. Berabe nya lagi, saya tak pandai membuka percakapan dengan orang baru selain sekadar bilang "permisi" atau kalimat basa-basi lainnya. Mujurnya, bapak yang duduk di seberang saya itu selesai menghitung uang dan koran-koran yang bertumpuk di meja sebelah gelas teh yang tinggal setengah itu. Tak berlangsung lama, Ia menyapa saya "Baru pulang kerja bro?".


Karena tegukan kopi pertama masih memenuhi mulut, saya hanya mengangguk. "Mau pulang panas betul, ngaso dulu sebentar, bang," kata saya selang beberapa saat. Entah apa yang meyakinkan saya terus memanggilnya Abang padahal dari jarak dekat terlihat sosok pria yang saya lihat itu tidak muda lagi.
 
"Sambil baca koran lah bro. Mau ngga nih?" Ia menimpali.


Sungguh sebuah tawaran yang agak berat. Di tengah siang yang terik, isi kepala yang masih berkecamuk, dan suasana warung yang banyak dilewati orang berlalu-lalang saya direkomendasikan untuk membaca koran. Tentu bisa saja saya membeli koran untuk sekedar menghargai si bapak tapi tak lebih bijaksana kah bila kita berbelas kasihan lewat cara lain, dengan membayar jajanan beliau misalnya.


"Duh. Gw udah baca bang hari ini. Maaf yah." balas saya.


"Oh gitu yah. Selo, gak apa-apa bro," ucapnya.


"Abang agen atau loper?" saya melanjutkan percakapan demi menebus dosa ketidaktertarikan saya pada dagangannya.


"Gua loper. Ngambil koran di agen pasar Senen," jawabnya.


Saya hanya mengangguk-angguk tanda memahami yang Ia bicarakan. Beberapa pertanyaan sebetulnya ingin saya ajukan, diantaranya terkait kondisi penjualan koran konvensional hari-hari ini. Namun saya urungkan, rasa-rasanya pertanyaan tersebut kadung sensitif. Sebelum sempat mengajukan pertanyaan lain, beliau kembali melanjutkan pembicaraannya yang terpotong oleh anggukan saya.


Menurutnya, hanya pelanggan lama yang bisa diandalkan untuk mendapat uang makan sehari-hari, tak ada lebih. Ia juga menyebut minat baca masyarakat kian hari kian menurun, padahal Ia sendiri tahu kecepatan media online telah merusak pasar media konvensional.


"Sekarang kalo bukan nganter koran ke langganan, sepi banget peminat koran. Kata orang, di jaman modern semuanya serba maju. Tapi kita malah ngalamin kemunduran," pekiknya lagi.


Alih-alih merespon pernyataan yang Ia lontarkan, saya malah menggaris bawahi beberapa kata kunci yang Ia sebut, "sepi", "modern", dan "kemunduran". Tiba-tiba dengan pikiran yang masih berkecamuk, saya terngiang-ngiang beberapa potongan lirik dari bait awal "Lagu Kesepian"-nya Efek Rumah Kaca.


Ku tak melihat kau membawa terang
Yang kau janjikan
Kau bawa bara serak di halaman
Hingga kekeringan


Bait pembuka di lagunya ERK tersebut betapa pun relevan dengan keadaan beberapa kalangan dewasa ini, kemajuan teknologi tak sepenuhnya membawa terang. Melainkan membawa kekeringan di halaman mereka sendiri. Sekali lagi ini tak hanya berlaku bagi loper koran, dalam beberapa bidang profesi lainnya modernitas kerap bertarung sengit dengan konvensional.


Dan tak seluruh modernisasi sanggup membawa peradaban menjadi lebih baik. Terkadang modernitas juga bertarung dengan dirinya sendiri, tak ubahnya ketika gerai kelontong Amrik yang berguguran di Jakarta beberapa tahun silam.


Lantas apa sebenarnya yang bikin ribut jikalau modernitas dan modernitas saja bisa silih tumpas? Tujuan politis, kekuasaan raja-raja, atau malah setiap peperangan pro-kontra itu merupakan peninggalan sejarah pemerintah kolonial Hindia Belanda yang senantiasa kita lestarikan.


Ah, meracau lagi. Mungkin siang sudah terlampau terik dan isi kepala terlalu berkecamuk. Namun tidak juga, saya tak berada lagi di jalanan atau merasa kepanasan di atas motor dan bikin kepala melantur. 

Sebab saya tengah berada di warung kopi seraya mendengarkan senandung "Lagu Kesepian"-nya sang loper koran. Sepi dalam harfiah yang sebenarnya. Seabreg koran di tengah jalanan kota yang sepi dan pintu-pintu rumah yang makin terkunci.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun