"Pahit atau manis, mas?" responnya.
"Formasi 1-3 aja (baca: gula satu sendok teh & kopi 3 sendok teh), mbak." jawab saya.
Beberapa saat mata saya kembali teralihkan kepada seorang pria yang masih saja terduduk sendirian. Setelah cukup memperhatikan dari jarak yang lebih dekat, beliau yang saya lihat nampak muram bagai Decul (fans Barcelona, read) yang tengah meratapi kepergian sang legenda, Lionel Messi, menuju salah satu klub borjuis yang bermukim di kota Paris.
Namun pembawaannya lebih dewasa dari sekedar pria yang tengah bermuram durja, sekalipun jika kedewasaan itu alakadarnya diukur dari seberapa banyak uban yang tumbuh di kepalanya.
Alih-alih menghitung uban, -- sambil menunggu kopi dibuat -- lebih baik saya menyapa sebelum duduk di seberang bapak tua itu "Sendirian aja, Bang? Numpang duduk boleh yah," upaya saya membuka percakapan.
Kata "Abang" biasa saya gunakan untuk menyapa seorang lelaki yang baru saya kenal, umurnya jauh di atas saya atau lebih muda daripada saya itu lain cerita. Begitu pula dengan kata "mbak", bedanya hanya diperuntukkan buat perempuan.
Tak lama setelah bapak yang saya sebut Abang tadi mempersilakan saya duduk, kopi yang dibuat seorang perempuan yang saya panggil mbak itu tiba di meja saya. Sekitar lima menit tidak ada percakapan apapun, dalam situasi canggung seperti ini biasanya saya meraih telepon genggam untuk mengecek pesan WhatsApp yang masuk atau sekedar berselancar di lini masa Twitter. Naasnya, hp saya koit. Apesnya lagi, tak ada PB atau colokan yang bisa membantu.
Saya kian merasa canggung sebab keheningan kian menjadi. Berabe nya lagi, saya tak pandai membuka percakapan dengan orang baru selain sekadar bilang "permisi" atau kalimat basa-basi lainnya. Mujurnya, bapak yang duduk di seberang saya itu selesai menghitung uang dan koran-koran yang bertumpuk di meja sebelah gelas teh yang tinggal setengah itu. Tak berlangsung lama, Ia menyapa saya "Baru pulang kerja bro?".
Karena tegukan kopi pertama masih memenuhi mulut, saya hanya mengangguk. "Mau pulang panas betul, ngaso dulu sebentar, bang," kata saya selang beberapa saat. Entah apa yang meyakinkan saya terus memanggilnya Abang padahal dari jarak dekat terlihat sosok pria yang saya lihat itu tidak muda lagi.
Â
"Sambil baca koran lah bro. Mau ngga nih?" Ia menimpali.
Sungguh sebuah tawaran yang agak berat. Di tengah siang yang terik, isi kepala yang masih berkecamuk, dan suasana warung yang banyak dilewati orang berlalu-lalang saya direkomendasikan untuk membaca koran. Tentu bisa saja saya membeli koran untuk sekedar menghargai si bapak tapi tak lebih bijaksana kah bila kita berbelas kasihan lewat cara lain, dengan membayar jajanan beliau misalnya.
"Duh. Gw udah baca bang hari ini. Maaf yah." balas saya.