Kala masih aktif bermain Roberto Mancini merupakan salah satu pesohor di Serie A, satu diantara banyaknya trequartista andal yang dimiliki Italia, namun di level Timnas tak ada catatan sejarah penting soal pemain bernama Roberto Mancini.
Bersama Sampdoria dia kalah dalam final Piala Champions Eropa edisi 1992 yang dihelat di Wembley atas Barcelona lewat skor 0-1, Ia juga dipecat sebagai manajer Manchester City pasca tumbang di final Piala FA 2013 silam di tempat yang sama. Baginya Wembley terasa begitu menyedihkan.
Namun demikian, partai puncak Piala Eropa 2020 yang dihelat di Wembley tak ubahnya katarsis bagi Roberto Mancini. Bersama keluarga Sampdoria-nya, Alberico Evani dan Gianluca Vialli, eks bos Internazionale dan Man. City itu membelokkan sejarah kelam menjadi narasi sukacita.Â
Lantas, bagaimana Mancini menangkal tuah Wembley sekaligus meruat Timnas Italia yang sebelum Ia datang tengah berada dalam kondisi terpuruk imbas tak lolos ke Piala Dunia 2018 di Rusia?
Mancini Sang Alkemis
Mancini mengawali karirnya sebagai pelatih bersama Fiorentina (2001/02) dan berhasil mempersembahkan satu gelar coppa Italia, setahun berselang Ia menangani Lazio (2002/04) dan menorehkan gelar yang sama, sebuah trofi Coppa Italia.Â
Baru di tahun 2004, Ia dilirik oleh Internazionale Milan. Disinilah Mancini menasbihkan diri sebagai pelatih yang layak diperhitungkan di Eropa.
Pada periode 2004-2008, Ia berhasil menghimpun tujuh trofi dengan rincian 3x juara Serie A, 2x juara Coppa Italia, dan 2x Piala Super Italia.Â
Meski gelar scudetto perdana Ia rengkuh di bawah bayang-bayang kasus Calciopoli, tepatnya saat pengadilan Italia memutuskan menarik gelar Juventus lalu diberikan kepada La Beneamata.
Namun kualitasnya kembali teruji bersama Manchester City. Selama tiga musim, Ia berhasil meraih tiga gelar diantaranya juara Liga Primer (2011/12), Piala FA (2010/11), dan FA Cup (2012).
Selain sukses di Italia dan Inggris, Ia mencoba peruntungannya di Liga Turki bersama Galatasaray dan berhasil meraih trofi Liga musim 2013/14.
Namun pada periode keduanya di Inter (2014-2016) Ia gagal menorehkan trofi. Selaras saat Ia menangani Zenit St. Petersburg (2017/18).Â
Sebabnya, di tahun 2018 Ia mendapatkan telepon strategis dari pihak FIGC untuk membantu Timnas Italia yang tengah terpuruk. Seperti kita ketahui bersama, di Timnas Italia Mancini kembali memamerkan kecerdasan manajerialnya.
Akan tetapi, sebelum mengakui kehebatan Mancini lewat pencapaiannya di Euro 2020 berupa gelar juara dan rekor 34 laga tanpa kalah bagi Timnas Italia.Â
Agaknya kita mesti melihat sosok Mancini sebagai manajer transformatif sejak menangani klub. Kita bisa melihat itu semua ketika Ia sukses mengakhiri puasa scudetto selama 17 tahun Inter Milan dan memberikan trofi pertama untuk Manchester City.
Memang ketika berbicara masa lalunya Mancini tak lepas dari pro dan kontra. Bagi penggemar yang tidak menyukainya mungkin gelar juara di Serie A tak pernah bisa lepas dari bayang-bayang calciopoli dan prestasi bersama City lebih banyak andil dari sokongan dolar selangit dari raja minyak asal Timur Tengah untuk memfasilitasi tim yang glamor.
Namun argumen tersebut menjadi tidak logis setelah Mancini dianggap berhasil meletakan batu fondasi bagi dua klub tersebut untuk meraih gelar-gelar prestise selanjutnya.
Ia mewariskan sebuah platform bagi penerusnya, Jose Mourinho, untuk meraih trable winner bagi Nerazzurri, pun untuk The Cityzen, Ia berhasil mengubah mentalitas Etihad dari klub yang identik dengan kegagalan menjadi klub pemenang.
Di Timnas Ia mengumpulkan kepingan-kepingan kegagalan serupa tak ubahnya di Giuseppe Meazza dan di Etihad. Saat FIGC menawarkan pekerjaan untuknya.
Mentalitas Leonardo Bonnuci cs tengah dalam kondisi terpuruk pasca gagal lolos ke Piala Dunia Rusia. Pertama-tama Ia membangun sebuah tim nasional tak ubahnya sebuah tim klub.
Bukan hal yang gampang menyatukan 11 kepala dalam satu sistem yang Ia inginkan, ditambah lagi sisi persiapan Timnas yang singkat. Di klub, setiap pelatih punya jangka waktu yang panjang buat membentuk tim yang solid.Â
Tapi tidak demikian di tim nasional. Mereka hanya bersama dalam sebuah Training Center (TC) dan selebihnya mereka berkumpul dalam kurun waktu maksimal sebulan di turnamen.
Namun Mancini punya cetak biru untuk membangun sebuah unit yang solid. Ia membuat manuver ciamik dengan mendongkrak sistem penyerangan jadi lebih produktif dengan catatan tidak mengurangi kualitas pertahanan khas catenaccio. Mancini menciptakan tim dari bagian-bagian yang berbeda, dimulai dari lini belakang.Â
Nampaknya Mancini tak merombak secara signifikan pada sektor ini, Ia tetap mengandalkan duet kawakan Chielini-Bonnuci dengan menambah beberapa potensi seperti Di Lorenzo dan Spinazzola serta Emerson Palmieri di bek sayap.
Untuk mengimbangi permainan Ia mempercayakan lini tengah kepada Jorginho-Barella-Verrati. Sementara lini depan yang kohesif diisi oleh Lorenzo Insigne, Federico Chiesa, serta Ciro Immobile.Â
Menariknya, materi pemain yang dipilih Mancini jauh dari kata glamor jika dibandingkan dengan pasukan Gli Azzurri yang pernah meraih gelar di turnamen-turnamen lain sebelumnya.
Bahkan lini serang yang diandalkan Mancini di Euro 2020 tidak meraih prestasi di klubnya masing-masing. Berbeda dengan gemilangnya Gigi Riva-Sandro Mazzola (Euro 1968), Paolo Rossi-Bruno Conti (World Cup 1982), terakhir era generasi emas Italia Luca Toni-Francesco Totti-Alesandro Delpiero (World Cup 2006).
Merujuk perbandingan tersebut, bisa dibilang otak sepak bola Mancini begitu tajam dalam mengubah pemain-pemain yang di klubnya relatif tak begitu gemilang menjadi pemain penting di bawah arahannya.Â
Praktis pemain yang meraih trofi di klub bisa dihitung jari, diantaranya; Jorginho dan Emerson Palmieri di Liga Champions bersama Chelsea, Nicolo Barella dan Alessandro Bastoni di Serie A bersama Inter.
Mancini berhasil menempa para pemain-pemain yang tak haus kemenangan di klubnya, semisal Emerson Palmieri yang di Chelsea selalu menjadi opsi kedua sukses tampil impresif bersama Azzurri diakhir turnamen.Â
Meski dinaungi segala keterbatasan sejak menangani Azzuri, namun Ia sukses membuat Italia bermain fleksibel yang terdiri dari dua tim hebat: tim dengan pertahanan kuat dan tim dengan penyerangan yang kohesif.
Dua laga terakhir bisa jadi rujukan paling komprehensif terkait fleksibilitas mereka. Italia bisa bermain tanpa dan dengan bola, memiliki 30 persen penguasaan bola melawan Spanyol di semifinal (bertahan) dan 65 persen melawan Inggris di final (menyerang). Mereka bisa bertahan dan menyerang sama baiknya.
Patut diakui, sebanyak 13 trofi yang diraihnya sepanjang karier kepelatihannya bersama klub di berbagai ajang tak bisa dikatakan buruk.Â
Namun, kemenangan di Piala Eropa seolah menegaskan bahwa dirinya merupakan sang Alkemis sepak bola di Eropa sekaligus memupus keraguan-keraguan sebagian orang yang sempat meragukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H