Keberadaan Antonio Conte bersama Inter, permainan menyerang ala Atalanta, kembalinya Filippo Inzaghi bersama Benevento, potensi Sassuolo memberi kejutan, Genaro Gattuso melawan krisis di Napoli, atau Ibrahimovic yang terlahir kembali dan membawa Milan ke jalur kemenangan tak lantas berhasil membuat kita melupakan Juventus begitu saja.
Selain keberadaan mega bintang Cristiano Ronaldo, bos baru yang ditunjuk menggantikan Maurizio Sarri yaitu Andrea Pirlo juga cukup menyita perhatian. Siapa yang tak mengenal Pirlo, beberapa tahun kebelakang Ia dikenal sebagai maestro lini tengah sepak bola Italia.
Namun, bermain sepak bola dan melatih tim adalah dua sisi yang amat berbeda. Dengan artian, tak ada jaminan bahwa pemain hebat akan menjadi pelatih yang sukses. Meskipun kenyang memainkan pakem defensive grendel khas Italia bersama Gli Azzuri semasa bermain. Pirlo kemudian berpikir maju dan menyesuaikan diri dengan sepak bola modern.
Hal itu merujuk pada tesisnya yang berjudul "My Football" kala Pirlo mengikuti UEFA Pro License yang diadakan oleh FIGC pada 2019 silam. Seperti dikutip dari bedah taktik oleh Ty Levinsohn dari Breaking The Lines (BTL.com).
Dalam tesisnya, sangat jelas bahwa Pirlo menginginkan timnya menjadi protagonis. Pelatih berusia 41 tahun itu mereplika beberapa pendahulunya yang berpengaruh dalam karirnya seperti Carlo Ancelotti di Milan dan Antonio Conte di Juventus. Selain itu, Ia juga terinspirasi oleh Louis van Gaal ketika menangani Ajax, Johan Cruyff dan Pep Guardiola kala mereka menukangi Barcelona.
Meskipun ketika bermain Ia kerap beroperasi di posisi gelandang jangkar tepat di depan center bek, namun ide kepelatihannya justru bertolak belakang. Ia lebih menitikberatkan sisi ofensif daripada defensif dan hanya sekilas memfokuskan ide taktikalnya di sisi transisi.
Pirlo secara serius mengulas build up sejak dari penjaga gawang -- keberadaan Bonnuci yang piawai memainkan bola dari belakang sangat membantu Pirlo di Juventus --, ofensif dengan kontruksi belah ketupat, transisi yang sistematis, dan menggunakan high pressure kala kehilangan bola.
Dengan pijakan berpikir ofensif dan beberapa rujukan taktik dari para pendahulunya, agaknya Juventus bisa dibayangkan sebagai tim dominan di bawah arahan Pirlo. Namun demikian, Pirlo baru saja lulus dari UEFA Pro License tahun lalu, dimana Ia belum pernah mengenyam pengalaman memimpin tim besar.
Berbicara taktik, boleh-boleh saja Pirlo terlihat ambisius melalui tesis yang ditulisnya, namun tanpa pengalaman bisakah eks pemain Brescia itu melewati benturan antara idealisme taktiknya dengan kenyataan di lapangan?
Maksudnya, beberapa pemain Juventus seperti Buffon, Bonnuci, Chielini, Cuadrado, Morata, dan lainnya merupakan kawan Pirlo kala bermain. Tentu dengan usia yang tidak terlalu jauh, kewibawaan Pirlo bisa saja hilang di ruang ganti. Namun, antusiasme pemain semacam Gianluca Frabotta, Weston McKennie, Dejan Kulusevski, dan pemain muda lainnya bisa membantu Pirlo.
Tiga Fase Ofensif: Kontruksi, Pengembangan, dan Menyerang Garis Pertahanan
Masih merujuk data yang sama mengenai tesis Pirlo yang disadur dari BTL.com, Pirlo menyatakan prinsip fundamental saat menyerang akan selalu ada. Ia mengaku tak punya pakem atau modul tetap saat menerangkan fase ofensif.
Ia berdalih bila positioning dan pergerakan pemain adalah kunci saat menyerang. Ia juga membeberkan tiga fase menyerang: kontruksi, pengembangan, dan menyerang di garis pertahanan lawan. Tiga fase ini sangat penting dalam prinsip of play Pirlo.
"Dalam fase ofensif kami tidak memiliki modul tetap, tetapi positioning dan pergerakan pemain adalah untuk mencari pencapaian prinsip kami. Ketiga prinsip makro ini harus selalu penuh," tulis Pirlo dalam tesisnya yang dinukil dari BTL.com.
Fase pertama yakni kontruksi, ini menjadi bagian paling terstruktur dan sistematis dari permainan yang diinginkan Pirlo. Ia ingin timnya bermain dari belakang dan selama build up Pirlo menyediakan jalan keluar dengan operan vertikal menggunakan struktur belah ketupat dengan tujuan mendominasi permainan.
Di fase kedua atau development ofensive, bagaimana pemain sayap memanfaatkan lebar lapangan, mencari target man di area finishing, dan menyerang ke dalam atau memanfaatkan pemain yang berlari dari belakang. Fase ini sering disebutkan dalam tesisnya dan agaknya menjadi metode prioritas Pirlo untuk membuat pertahanan lawan terus menerus tertekan.
Penggawa anyar seperti Dejan Kulusevski, Alvaro Morata, Federico Chiesa, dan Aaron Ramsey bisa berkembang pesat dalam sistem ini. Ditambah Ronaldo, dengan kecepatan yang dimiliki pemain-pemain baru itu, mereka punya potensi besar dalam mendikte lawan untuk mundur ke garis terendah pertahanan.
Sementara itu, di fase terakhir Pirlo menginginkan penyerangan dilancarkan di area garis pertahanan lawan. Tepatnya di final third, Pirlo memberi kebebasan pada para pemainnya untuk menggunakan kreativitas, kecerdasan individu, dan insting menyerang.
Pirlo Layak Mendapatkan Waktu untuk Mengimplementasikan Ideal-ideal Taktiknya
Pirlo datang ke Turin pada September 2019 untuk mengambil alih posisi Maurizio Sarri yang dikritik karena pendekatan taktis yang tidak terlalu menarik dan Sarri-Ball jauh di bawah ekspektasi penggemar Juventus.
Namun, dengan pengalaman yang relatif minim, tak mudah bagi Pirlo menjabat manajer sebuah klub yang berambisi memenangi Liga Champions. Meskipun Ia telah menawarkan kerja keras, penguasaan bola, dan lini depan yang kuat. Tetapi seperti yang terlihat sejauh ini, prinsip Pirlo disambut dengan emosi yang campur aduk.
Beberapa di tim melihatnya sebagai seorang idealis, hal yang wajar mengingat Pirlo masih baru di meja manajerial sehingga dua bek veteran diminta menampilkan permainan yang sebelumnya tak pernah mereka jalani.
Hal demikian, membuat adaptasi trio bek Bonnuci-Chielini-Danilo terhadap permainan khususnya dalam merancang serangan balik cepat agak sedikit tergopoh. Bagi Danilo mungkin tak masalah bermain cepat. Tapi bagi dua bek legendaris yang sudah berumur, tentu saja itu tidak mudah.
Menangani Juventus bukanlah persoalan kecil bahkan bagi manajer yang berpengalaman sekalipun. Andrea Pirlo sebagai debutan sangat mengenal budaya tim ini sebab Ia pernah meraih sukses bersama Antonio Conte saat menjadi pemain. Tak perlu dijelaskan lagi kehebatan Pirlo pada masa itu.
Ambisi Pirlo tidak habis setelah pensiun sebagai pemain. Ia mendeklarasikan taktis yang juga tak kalah ambisius. Dia punya metode penciptaan peluang yang andal, struktur aliran bola yang solid, dan pertahanan yang kompak.
Namun beberapa persoalan seperti adaptasi taktik dan mencari kesalahan taktik yang sebelumnya tak pernah diuji mesti dilewati Pirlo. Tentu untuk mengimplementasikan ideal-idealnya dan teori taktisnya yang bagus, Pirlo layak mendapatkan waktu untuk melanggengkan perubahan yang Ia bawa di Juventus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H