Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Adakah Imbas Omnibus Law bagi Industri Sepak Bola?

11 Oktober 2020   11:41 Diperbarui: 11 Oktober 2020   15:30 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sepak Bola Indonesia (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Undang-undang Omnibus Law merupakan UU yang bersentuhan dengan berbagai macam topik yang dimaksudkan untuk mengamandemen, memangkas, atau mencabut sejumlah UU lainnya, salah satunya UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang bersinggungan langsung dengan para pekerja atau buruh. Lantas, adakah dampak UU ini bagi sepak bola?

Bagi sepak bola sendiri, memang dampaknya tak ada. Namun, bila kita berbicara industri sepak bola. Maka, dampaknya akan sangat terasa. Seperti kita ketahui bersama, pada 2004 silam PSSI mulai melakukan transisi terhadap pengelolaan sepak bola nasional menuju industri sepak bola. Pijakan legalnya adalah Club Licensing Regulation yang diterbitkan FIFA.

(Sumber Foto: Waspada Online)
(Sumber Foto: Waspada Online)
Inti dari rules tersebut mewajibkan setiap federasi sepak bola negara untuk mengimplementasikan pengelolaan sepak bola yang profesional dan mulai meninggalkan pengelolaan lama; klub plat merah, yang mana anggaran dikucurkan lewat pemda setempat lewat sumber dana APBD.

Tentu manuver tersebut membawa konsekuensi-konsekuensi tersendiri bagi klub-klub nasional. Parameternya tentu mesti berbadan hukum, mengacu pada badan hukum yang berlaku di Indonesia maka bentuk yang dikenal adalah PT, yayasan, dan koperasi.

Sejauh ini, bentuk badan hukum PT menjadi populer di kalangan klub sepak bola nasional. Dan klub yang telah berbadan hukum mesti tunduk pada UU nomor 47 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT).

Bila bicara PT, katakanlah para pekerja yang bekerja di PT. Persib Bandung Bermartabat misalnya, mulai dari Media Officer, Social Media Administrator, Graphic Designer, Business Analyst, Creative Director, OB, Satpam, dan lain sebagainya merupakan para pegawai atau buruh yang mesti tunduk pada UU Ketenagakerjaan yang berlaku.

Hal demikian dibenarkan oleh Pengamat Hukum dan Olahraga, Eko Nur Kristiyanto atau akrab disapa Eko Maung. Menurutnya industri sepak bola bukan hanya pemain, pelatih, atau ofisial. Melainkan juga ada buruh ekslusif di dalamnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ekosistem dan korelasi pengusaha dengan pekerja tercipta di klub sepak bola.

"Dampaknya jelas ada, kan pekerja di klub sepak bola pro bukan cuma pemain dan pelatih, tapi ada juga 'buruh' ekslusif seperti media officer, finance, OB, satpam, admin medsos, dsb. Klub sepak bola berbentuk PT berdasar UU 40 2007, jadi hubungan pekerja-pengusaha tercipta di klub," tulisnya di akun twitter pribadinya, @ekomaung.

Transisi Sumber Dana dari APBD Menuju Perseroan 
Klub-klub sepak bola nasional yang berawal dari perserikatan sempat merasakan betapa manisnya saat mereka masih menikmati sokongan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) pada masa lalu.

Berbekal suntikan gelontoran dana APBD dan di kombinasikan dengan pejabat daerah yang merangkap sebagai petinggi klub atau sebaliknya, maka mereka bisa belanja secara foya-foya di bursa transfer pemain demi melanggengkan target juara.

Hal itu tentu tak berlaku bagi klub-klub yang berasal dari kompetisi Galatama. Klub-klub jebolan Galatama yang identik dengan nama yang lebih kreatif umumnya didirikan oleh para pengusaha yang gila bola di suatu daerah. Klub menyambung hidup dari dana pribadi petinggi klub.

Namun demikian, keistimewaan yang didapat klub-klub jebolan perserikatan kemudian sirna pada 2011 silam setelah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat itu Gamawan Fauzi melarang penggunaan APBD untuk membiayai klub-klub sepak bola profesional. Landasannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 1 Tahun 2011, yang efektif berlaku per 1 Januari 2012.

Permendagri yang ditaken dan disahkan pada Mei 2011 itu jadi titik awal bagaimana klub sepak bola bertransformasi menjadi lebih profesional atau dalam bahasa statuta FIFA disebutkan sebagai industri sepak bola yang juga dilandasi oleh Club Licensing Regulation.

Manuver populer yang dipilih oleh kalangan klub adalah membentuk Perseroan Terbatas (PT). Meski demikian, komposisi kepemilikan saham tetaplah tak lepas dari para birokrat. Seperti dinukil Tirto.id dari Ditjen AHU dengan periode akses mulai 23 November 2017-22 Maret 2018, salah satu klub yang dimiliki pejabat daerah adalah Persela Lamongan yang dikelola PT. Persela Jaya.

Dalam akta per 23 Maret 2016, kepemilikan Persela dipegang dua pejabat daerah. Bupati Lamongan Fadeli sebagai ketua umum dan Sekretaris Daerah Yuhronur Efendi. Konon keduanya memiliki masing-masing 50 persen saham. Namun kemudian keduanya tak memiliki jabatan di kepengurusan Perseroan ini. Dirut PT diisi oleh Debby Kurniawan, anak Fadeli, yang juga ketua DPD Partai Demokrat.

Selain Persela Lamongan, ada pula PT. Persipura Jayapura yang sebagian sahamnya dimiliki oleh birokrat. Manase Robert Kambu (Eks Walikota Jayapura dua periode 2000-2010) mempunyai 30 persen saham di perusahaan tersebut, proporsinya sama dengan dua rekannya Benhur Tomi Mano (Walikota Jayapura saat ini).

Selain Jayapura, Bupati Kepulauan Yapen, Tonny Tesar, juga sempat masuk ke jajaran kepemilikan klub Perserui Serui -- saat ini bertransformasi menjadi Badak Lampung FC.

Data di atas bisa dilihat secara keseluruhan, pemilik saham terbesar klub terbagi menjadi beberapa kelompok: perusahaan, pengusaha, hingga pejabat daerah. Secuil narasi bahwa meskipun klub telah disapih dengan APBD sekalipun sepak bola tak pernah lepas dari para birokrat.

Aturan Bosman dan Omnibus Law Bagi Pemain Bola
Sebelum adanya aturan Bosman, para pemain bisa sewenang-wenang dikekang oleh klub dan tak memiliki kebebasan terhadap karirnya sendiri. Bosman Ruling ini jadi tonggak revolusi industri sepak bola.

Dalam sejarahnya, Jean-Marc Bosman, dilarang pindah oleh klubnya, RFC de Liege. Dunkerque, pada tahun 1990. Padahal kontraknya dengan RFC de Liege sudah kadaluwarsa. Hal tersebut bikin Bosman bingung lantaran kontraknya telah habis namun haknya buat pindah ke klub lain dikekang oleh klub yang dibelanya.

Pihak klub kemudian hanya memberikan sekitar 25 persen gaji Bosman selama kontraknya berakhir sampai ada klub baru yang menyanggupi nilai transfer untuk meminang Bosman.

Merasa diperlakukan tidak adil kemudian Bosman membawa persoalan ini ke Pengadilan Eropa di Luksemburg. Berdasarkan regulasi transfer dan status pemain FIFA pasal 17, Bosman mesti berhadapan dengan pihak RFC de Liege, federasi sepak bola Belgia, dan UEFA.

Butuh lima tahun bagi Bosman untuk mencari keadilan. Pada 5 Desember 1995, Pengadilan Eropa akhirnya mengetuk palu untuk memenangkan gugatan Bosman sehingga melahirkan tiga aturan baru yang dikenal dengan Bosman Rulling.

Pertama, melarang adanya nilai transfer untuk pemain yang kontraknya sudah berakhir. Kedua, klub tidak berhak menahan pemain yang masa kontraknya selesai untuk mendapatkan kompensasi. Ketiga, menolak batasan pemain asing yang boleh bermain dalam satu pertandingan dalam satu pertandingan di liga-liga yang berjalan di bawah naungan UEFA.

Aturan Bosman ini sedikit banyak jadi alat bukti sahih bahwa para pemain sepak bola tak hanya terikat dengan UU yang berlaku di negara tempat dimana mereka bermain melainkan juga mereka terikat dengan aturan yang berlaku di komunitas dalam hal ini statuta FIFA.

Memang -- hingga artikel ini ditulis -- belum ada draft final Omnibus Law yang bisa di akses oleh publik secara luas. Namun demikian, apapun keputusan final tentang UU Ciptaker yang diambil alih Omnibus Law ini nantinya sedikit banyak akan berdampak pada perseroan-perseroan dan para stakeholder yang terlibat di industri sepak bola. Termasuk pemain.

Sebab, perseroan mesti tunduk pada UU Ketenagakerjaan. Termasuk gaji atau upah yang diterima pemain, pelatih, ofisial, atau pengurus. Berbicara upah, hal tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:

"Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh,"

Seperti kita ketahui bersama, selama ini hubungan kerja antara pemain sepak bola dengan klubnya berlandaskan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.

Namun sekali lagi pemain sepak bola tak bisa disejajarkan dengan buruh ekslusif yang dijabarkan Eko Nur Kristiyanto di atas, seperti media officer, admin klub, OB, satpam, dll. Karena pemain terikat pula dengan aturan FIFA.

Kembali pada kaitan Omnibus Law dengan industri sepak bola. Bukan upah saja yang bisa memengaruhi buruh ekslusif di perseroan klub. Melainkan juga aturan lainnya. 

Misalnya, andai ada perubahan di UU Ketenagakerjaan yang kini telah dirangkum dalam Omnibus Law tentang syarat tenaga kerja asing -- terlepas dari merugikan atau menguntungkan pekerja karena kita belum mendapat salinan final UU tersebut -- maka konskuensinya bisa ke pemain asing atau ofisial yang statusnya tenaga kerja asing yang mencari nafkah di industri sepak bola kita.

Semoga UU yang berhubungan dengan Ketenagakerjaan yang kini telah di take over oleh Omnibus Law bisa membawa perubahan positif di berbagai sektor industri. Tak terkecuali bagi industri sepak bola kita yang konon mulai tumbuh ke arah yang profesional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun