Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi: Kau adalah Getir

5 Mei 2020   04:36 Diperbarui: 5 Mei 2020   04:30 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surel darimu nun jauh disana mengubahku jadi lebih plegmatis.
Kudikte lagi, ragaku merasa agung.
Kutilik lagi, teks itu hanya arsip lama.
Dengan instingtifnya, sang melankolis menyita sisa malamku.

Bagai rindu tak bertuan.
Bagai galah-galah kota yang elusif.
Bagai kereta tengah malam.
Menguber kosong dalam nyenyat.

Di tengah ketidakpastian, semua dipaksa hadir.
Di kegelapan, aku meraba.
Kubentangkan parasmu sekali lagi.
Dan cinta memaksaku berdamai.

Datang dan pergi hanya siklus.
Namun perpisahan tanpa ucap?
Kacau. Padahal kau tahu, semua dalam hidup adalah teks. Layak atas penjelasan.
Sebagaimana aku membaca ujung jalan, kegetiran yang syahdu tuk dirayakan.

Kupanggil diktum-diktum Jacques Derrida.
Kuselami narasi cinta.
Katanya, cinta, baik sebagai kata kerja atau benda, akan musnah di hadapanmu.
Kudekap lagi, kegetiran.

(Gilde, 5 Mei 2020).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun