Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Cara Klopp Bangunkan Mimpi 30 Tahun Liverpool

30 April 2020   16:16 Diperbarui: 3 Mei 2020   20:46 965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatih Liverpool FC, Juergen Klopp (BOB LEVERONE/AFP) via Kompas.com

Pada dekade 1980-an di Inggris, di bawah kedaulatan perdana menteri yang dijuluki 'si tangan besi', Margaret Hilda Thatcher, kota Liverpool melawan keterpurukan. Dermaga yang pernah menjadi pusat kemakmuran kota menukik sejak tahun 1970-an.

Manufaktur menyusut, ekonomi defisit, pengangguran tinggi, sampai-sampai mengikis minat banyak orang untuk tinggal disana sehingga populasi pun ikut menurun drastis. 

Runyamnya lagi, kota ini juga jadi pintu masuk utama penyebaran epidemi heroin yang kemudian merusak satu generasi. 

Sungguh kota kelas pekerja yang rusak. Namun menjadi tempat yang strategis bagi pemalas yang ingin teler dan melanjutkan mimpinya di kasur.

Namun semua berubah kala sepak bola membangunkan mimpi-mimpi para pemalas dan kekacauan yang ada di kota tersebut. Pada masa itu, Liverpool dan Everton tengah mencapai titik kejayaannya. 

Dari 1982 hingga 1990, kedua klub asal Merseyside itu saling bergantian memenangkan gelar. Mereka berhasil menghimpun sembilan trofi. Diantaranya dua Piala Eropa, satu Piala Winners, tiga Piala FA, dan tiga Piala Liga.

Orang-orang mulai beranjak ke stadion mengikuti aliran bernama Liverpudlians yang tengah menikmati warisan peninggalan Bill Shankly yang dibangun pada 1959-1974 melalui 783 pertandingan. 

Penerusnya seperti Bob Paisley (535 games/1974-83), Joe Fagan (131 games/1983-85), dan Kenny Dalglish (307 games/1985-91 & 2011-12) tahu caranya melipatgandakan pengikut aliran baru di Liverpool lewat pesta perayaan juara dijalanan.

Kini tak terasa sudah 30 tahun orang-orang Liverpool atau penggemar The Reds menantikan kejayaan di tanah Inggris -- juara Liga Primer Inggris -- beruntung seorang manajer dari Jerman bernama Juergen Klopp tiba dengan ide-ide barunya di kursi manajerial.

Termasuk gegenpressing yang fenomenal itu. Ia juga mulai membangunkan para kopites yang mulai bermimpi sejak 28 April 1990, kali terakhir mereka melakukan perayaan juara Liga ke-18.

Saat itu, pasukan yang dikomandoi oleh Kenny Dalglish bersaing ketat dengan Aston Villa di puncak klasemen. Liverpool menabung dua poin lebih banyak dari pesaing terdekatnya itu dan masih menyisakan satu pertandingan lebih banyak dibanding Aston Villa.

Laga penentuan terjadi ketika Liverpool menjamu QPR dan Aston Villa menjamu Norwich City. Liverpool berhasil mengandaskan QPR dengan skor 2-1. Sementara Aston Villa ditahan imbang oleh Norwich dengan skor 3-3.

Gelar pada musim 1989/90 kian menegaskan dominasi Liverpool sejak 1970-1980-an. Dalam dua dekade tersebut Liverpool menjadi raja Liga Inggris dengan pencapaiannya meraih 11 trofi juara. Namun disisi lain, pencapaian bersama Dalglish merupakan kali terakhir mereka meraih gelar Liga.

Kini bersama Klopp Liverpool terasa makin dekat dengan gelar juara Liga. Setelah musim sebelumnya "nyaris" membuka puasa gelar jika Manchester City-nya Pep tak terlalu tangguh. Sementara musim ini "nyaris" untuk kedua kalinya bisa diperdebatkan. Liverpool terlalu hebat untuk mengakhiri musim ini dengan kata ''nyaris''.

Presentase Kemenangan Klopp Menyamai Para Pelatih Legendaris Liverpool
Suksesi pertama Klopp adalah mengikuti jejak manajerial hebat yang pernah membawa Liverpool pada pusat kejayaan di masa lalu. Tak dipungkiri, statistik tak pernah bisa berbohong. Termasuk ketika berbicara presentase pertandingan yang dijalani.

Klopp berhasil menapaki jejak para legendaris Liverpool di kursi manajer. Rata-rata presentase kemenangan yang diraih manajer-manajer sukses di Liverpool tak kurang dari 50%. Pun dengan presentase hasil imbang dan kekalahan yang tak melebihi 30%.

Seperti ditulis oleh Aimee Lewis dari CNN. Bill Shankly mencatatkan 51,9% kemenangan, 25,3% seri, dan 22,7% kekalahan. Bandingkan dengan Klopp yang sejak 2015 menangani Liverpool dan bertanggung jawab penuh atas 256 pertandingan yang telah menghimpun presentase lebih baik dari Shankly, menang 60,5%, imbang 22,7%, dan menelan kekalahan 16,18%.

Catatan presentase itu juga lebih baik dari Bob Paisley dan Joe Fagan, Bob mengumpulkan 57,6% kemenangan, 24,5% imbang, dan 17,9% kekalahan. Sedangkan Joe meraih 54,2% kemenangan, 27,5% imbang, dan 18,3% kekalahan.

Bahkan, statistik Klopp juga tak buruk-buruk amat jika dibandingkan dengan Kenny Dalglish yang berhasil mengantarkan Liverpool mencicipi juara Liga yang terakhir kali didapat pada 30 tahun silam itu.

Dalglish memang mencatatkan presentase pertandingan lebih baik dari semua manajer Liverpool lewat 60,9% kemenangan, 25,4% remis, dan 13,7% kalah. 

Namun dengan catatan bahwa laga yang dijalani Dalglish lebih banyak ketimbang Klopp, yakni 307 pertandingan. Artinya, Klopp masih bisa memperbaiki catatan presentasenya sebab Ia memiliki jumlah pertandingan yang lebih sedikit dari Dalglish, yakni terpaut 51 laga.

Evolusi Gegenpressing
Sejak tiba di Liverpool pada 2015 silam, Klopp mengkampanyekan filosofi gegenpressing yang cukup menguras tenaga para pemainnya.

Sebab setiap kali kehilangan bola, para pemainnya diintruksikan buat menekan pemain lawan secepat mungkin terutama di zona pertahanan lawan.

Tak heran jika kemudian strategi tersebut kadang menjadi bumerang bagi timnya sendiri. Liverpool-nya Klopp seringkali kehabisan bensin saat liga mendekati akhir musim. Belajar dari pengalaman yang lalu, Klopp pun mulai berinovasi sedemikian rupa.

Seperti yang diutarakan oleh James Gheerbrant lewat tulisan yang berjudul "Liverpool The Best Hunters in History" yang dimuat di The Times. 

Sang penulis menganalisis permainan sempurna Liverpool musim ini. Ia menyebut The Reds secara sistematis selalu berhasil menempatkan pemain lawan di jalan kebingungan.

"Liverpool secara sistematis akan mematikan segala opsi yang Anda miliki dengan menempatkan Anda di jalan buntu," demikian hipotesis yang diajukan James Gheerbrant dalam tulisannya.

Hasil dari perubahan ini ternyata sangat signifikan bagi pasukan The Reds. Mereka berhasil menghemat energi untuk merebut penguasaan bola di wilayah lawan. 

Statistik menarasikan jika jumlah tekel James Milner cs menurun, meski begitu hal itu tak mengurangi sedikitpun kekuatan mereka dalam merebut bola di daerah lawan.

Perbandingannya, pada musim lalu mereka mencatat 16,1 kali tekel dan rata-rata hanya 4,89 kali merebut bola di wilayah pertahanan musuh. 

Sementara musim ini -- sekurangnya hingga periode Februari 2020 -- rata-rata takel mereka turun menjadi 15,2 per pertandingan, namun jumlah merebut bola justru melonjak ke angka 6,62 kali.

Jika diejawantahkan ke dalam bahasa sederhana, mereka tak lagi mengandalkan otot demi ambisi buka puasa meraih gelar Liga.

Klopp terlalu cerdik musim ini, Ia menyusun perangkap untuk menggiring lawannya ke jalan buntu. Kemudian bisa meraih trofi apapun yang diinginkannya. Tentu evolusi gegenpressing mesti terus dilakukan demi kejayaan Liverpool yang lebih abadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun