Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Pergantian Ketua Umum PSSI Hanyalah Gencatan Senjata Belaka

20 Januari 2019   20:56 Diperbarui: 21 Januari 2019   11:14 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Dikutip dari Sport Detik

Kongres tahunan otoritas tertinggi sepakbola Indonesia telah berakhir pada Minggu sore (20/01) di Hotel Sofitel, Bali. Dalam agendanya, kongres ini diikuti oleh 85 pemilik suara (voters) yang terdiri dari 34 Asosiasi PSSI Provinsi (Asprov), 18 klub Liga 1, 16 klub Liga 2, dan 16 klub Liga 3, dan satu wakil dari Asosiasi Futsal (FFI). Namun sampai artikel ini ditulis, belum ada rekapitulasi data teraktual berapa voters yang hadir.

Topik yang dibicarakan tidak jauh-jauh dari hasil evaluasi kegiatan PSSI yang dilakukan setahun kebelakang dan juga rencana program lainnya di tahun ini. Ada beberapa poin hasil dari Kongres PSSI 2019 ini. Diantaranya, para peserta kongres menyetujui laporan aktivitas dan laporan keuangan PT. Liga Indonesia Baru (LIB) dan Federasi Futsal Indonesia (FFI), para peserta juga mendengarkan paparan program serta rencana anggaran untuk tahun 2019, pencapaian LIB dan FFI untuk aktivitas 2018 maupun program kedepannya.

Kemudian, terbentuknya komite Ad Hoc yang secara struktural dipimpin oleh Ahmad Riyadh dan Azwan Karim yang dalam seminggu kedepan akan diumumkan lima anggota, tugas fokus jaga integritas sepakbola memerangi pengaturan skor, para peserta menyetujui terbentuknya lembaga independent terkait wasit professional Liga 1 dan Liga 2 dan poin terakhir Exco ingin di tahun ini menyatukan tekad sebab tantangan yang tak mudah.

Ditilik dari poin-poin hasil Kongres yang memakan waktu hingga enam jam lebih itu, tidak ada poin yang lebih menarik ketimbang pengunduran diri ketua umum PSSI, Edy Rahmayadi. Dikatakannya keputusan ini diambil tanpa tekanan dari pihak manapun. Ia menganggap kinerjanya gagal sepanjang menduduki kursi ketua umum selama ini.

Maraknya pengaturan skor dan kasus-kasus lain di kompetisi yang digulirkan PSSI menjadi alasan kuat. Meski begitu desakan agar Edy menanggalkan jabatannya di PSSI memang telah lama beredar. Selain karena belum bisa memberikan prestasi selama menjabat baik pengelolaan Timnas senior maupun pengelolaan kompetisi tertinggi. Rangkap jabatan sebagai gubernur Sumatera Utara (Sumut) sejak 5 September 2018 jadi momentum masyarakat untuk meminta Edy mundur.

Untuk mengisi kekosongan tampuk kepemimpinan di federasi, Joko Driyono sebagai waketum akan menjalankan amanah Pelaksana Tugas (Plt) PSSI. Menariknya, hanya tiga voters dari Madura FC, Persik Kediri, dan Persib Bandung yang menolak Edy mundur dengan alasan penggantinya tak akan lebih baik. Sedangkan, para voters lainnya menyepakati Jokdri sebagai Plt PSSI. Mereka saling adu tos dan lompat-lompat kegirangan.

Hal tersebut seolah mengantarkan kita pada persimpangan jalan, apakah kita harus ikut mengamini keputusan mundurnya Edy atau malah harus menyikapi hal ini dengan kesedihan. Apa pasal? Sebab begitu jelas jika hanya ada tiga klub/voters yang kritis untuk masa depan organisasi dan sepakbola nasional. Kongkritnya, hanya beberapa persen saja voters yang hadir menginginkan perubahan lebih besar. Sebagian hanya manggut-manggut dan mengikuti arus dibawah ketiak para penguasa.

Selain tiga klub professional tadi, voters yang mewakili suara dari Asprov PSSI DKI Jakarta pun sama lantangnya mendesak supaya PSSI segera mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB). Berdasarkan statuta PSSI pasal 30, KLB bisa digelar tanpa harus menunggu tahun 2020 yang mana periode kepengurusan tahun 2016 ini berakhir. Asalkan 50 persen atau 2/3 delegasi membuat permohonan tertulis untuk itu.

KLB bisa dikabulkan oleh komisi eksekutif PSSI setelah permohonan resmi itu diterima. Apabila tak kunjung digelar, anggota dapat menjadwalkan kongres sendiri atau bisa diselesaikan dengan opsi terakhir: meminta bantuan FIFA.

Namun, melihat respon voters dari kongres tahunan kali ini. Agaknya KLB untuk menentukan ketum baru akan sulit terlaksana sebab sejauh ini voters belum memenuhi syarat yang tercantum di statuta PSSI untuk menggelar KLB.

Oleh sebab itu, keputusan mundurnya Edy Rahmayadi bukan jaminan sepakbola kita lebih baik lagi kedepannya sebab penggantinya pun masih dari orang lama, yang mana kita ketahui bersama track record-nya. Jokdri atau Joko Driyono masih tercantum sebagai pemilik mayoritas saham Persija Jakarta, selain itu Ia masih memiliki jabatan di PT. LIB. Lantas apa bedanya dengan rangkap jabatan ketum sebelumnya sebagai Gubernur Sumut dan pembina PSMS Medan?

Meski dinilai cakap akan persoalan sepakbola nasional, Jokdri punya catatan buruk terkait jabatan ganda. Eks manajer Pelita Krakatau Steel itu mengawali karirnya sebagai jurnalis. Di tahun 90-an Ia mulai mendapat tempat di PSSI, dari anggota biasa karirnya cukup melesat. Ia mampu menduduki sejumlah posisi strategis di PSSI.

Hampir semua kursi jabatan yang ada di lingkungan PSSI pernah didudukinya, Sekjen, Operator Liga, hingga wakil ketua. Petualangannya itu didapatkannya setelah Ia melalui enam pergantian ketua umum PSSI sejak jaman Azwar Anas (1991-1999), Agum Gumelar (1999-2003), Nurdin Halid (2003-2011), La Nyalla (2015-2016), dan Edy Rahmayadi (2016-2019).

Kembali ke frasa jabatan ganda yang pernah diemban Jokdri, pada 2013 dibawah rezim Nurdin Halid Ia pernah menjabat CEO PT Liga Indonesia dan juga menjadi Sekjen PSSI. Jokdri berkilah jika saat itu tidak ada larangan rangkap jabatan dalam statuta PSSI.

Selain persamaan rangkap jabatan yang tak akan mengubah PSSI dan sepakbola Indonesia ke arah yang lebih baik. Mundurnya Edy Rahmayadi juga punya sisi negatifnya tersendiri. Mantan panglima pangkostrad tersebut dinilai memiliki integritas yang bisa membantu pergerakan Satgas Anti Mafia Bola.

Bisa dibilang, Edy mundur disaat yang kurang tepat. Pergantian ketua umum hanya dijadikan panggung relaksasi atau peredam kekecewaan masyarakat. Padahal kita (baca: masyarakat) kalah lagi. Ya, kita semua yang menginginkan "Edy out" itu kalah. Momentum pergantian ini hanya dijadikan gencatan senjata untuk menatap konflik-konflik selanjutnya.

Bagaimanapun juga, pergantian ketua umum ini bukanlah solusi terbaik meskipun hal tersebut dibutuhkan ketika organisasi tak berjalan sebagaimana mestinya. Masalah PSSI terlampau klise, kesalahan bukan terletak pada pimpinan organisasi melainkan sistem atau polanya yang masih begitu-begitu saja.

Dan lagi-lagi kita hanya bisa merawat suatu perasaan yang pernah hidup dimasa  lalu (baca: Deja vu), ketika dimana orang-orang lama berebut pucuk kekuasaan. Bahkan saat ini mereka kadung memegang kendali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun