Rotasi demi rotasi dilakukan oleh pelatih Timnas Indonesia U-19, Indra Sjafri. Tak peduli bobot laga itu mudah, biasa-biasa saja, atau berat sekalipun. Dengan keyakinan penuh Todd Ferre, Saddil Ramdani, Febi Eka, Witan Sulaiman, Hanis Saghara, dan lainnya berbagi waktu bermain disetiap pertandingannya.
Hasilnya pun, tidak mengecewakan sejauh fase grup berlangsung, mereka berhasil meraih posisi Runner up grup setelah memenangi empat laga beruntun plus satu kekalahan dari Thailand. Andai hasilnya berbanding terbalik agaknya kita tetap layak melayangkan apresiasi terhadap sosok yang sempat dikenal dengan gaya blusukannya saat mencari pemain ke pelosok daerah. Karena rasa-rasanya Tim U-19 masih termasuk kedalam fase pembinaan.
Artinya, tugas seorang pelatih yang menangani tim junior bukan sekadar merujuk pada hasil menang atau kalah. Melainkan tentang bagaimana caranya supaya para pemain yang dilatih bisa terus berkembang. Sedang skor akhir dapat kita kepinggirkan. Seperti bisa kita lihat bersama, coach Indra telah menjalankan tugasnya sesuai prosedur sebagai pelatih Timnas junior. Bahkan tagline membina pemain selaras dengan prestasi.
Prestasi? Bukan sekedar melihat prestasi Indra Sjafri di tahun 2013 lalu saat Evan Dimas cs berhasil menjadi jawara Piala AFF. Tetapi juga cara eks pelatih Bali United ini dalam mengembangkan pemain. Biasanya pembinaan butuh proses yang cukup panjang dan terkadang jika terjadi kesalahan dalam melakukan proses pembinaan, pemain bisa tidak berkembang.
Namun apa yang dilakukan oleh coach Indra perlahan mulai terlihat hasilnya. Sebuah prestasi tersendiri menurut saya, mengingat Ia hanya diberi jangka waktu yang pendek untuk membangun tim ini.
Bukan Hanya Melatih Skill
Kemampuan Individu para pemain U-19 ini cukup mumpuni. Bahkan jika disandingkan dengan para pemain Vietnam dan Thailand U-19 hampir setara. Dan dalam kondisi tertentu faktanya kapten Nurhidayat dan pasukannya terlihat menonjol daripada pemain kedua negara yang kita kenal sebagai kekuatan terbesar sepakbola Asia Tenggara itu.
Selain soal skill individu, kita juga disuguhi tentang Adab yang baik dalam diri Witan Sulaiman cs. Seperti menjadi sebuah budaya tersendiri ketika mereka berhasil mencetak gol selalu melakukan selebrasi bersujud simbolis rasa syukur mereka. Hansamu Yama dan kolega pernah melakukannya di Timnas U-19 periode 2013 lalu.
Pelatih Indra Sjafri selalu jadi orang pertama yang melakukannya. Tak ubahnya seorang ayah yang tengah memberikan mendidik anak-anaknya di lapangan. Kemudian kita melihat attitude baik lainnya yang dipertontonkan pasukan Garuda Nusantara ini: adab cium tangan. Kerap kali kita menyaksikan para pemain pengganti maupun yang diganti mencium tangan Indra Sjafri.
Bisa dikatakan attitude anak asuh Indra Sjafri ini sangat baik. Di lapangan tak pernah ada protes-protes keras meskipun mereka dalam keadaan dirugikan. Bagaimana rasa respek mereka terhadap wasit ini tak lepas dari didikan pelatihnya. Sehingga mereka terlihat seperti pemain pro kelas Eropa dalam bersikap dan tentunya hal positif seperti ini sangat mengedukasi pemirsa yang menyaksikan.
Apalagi pertandingan ini disiarkan langsung di televisi nasional yang kemungkinan besar ditonton oleh berbagai lapisan masyarakat. Termasuk anak kecil yang bercita-cita menjadi Egy-Egy lainnya yang bisa bermain di Eropa. Karena sejatinya modal skill saja tak cukup untuk pergi ke sana.
Selain attitude, mentalitas juga hampir lebih baik dari tim (era 2013) sebelumnya. Tim 2013 selalu bermain dengan pakem yang sama Dilini tengah: Evan-Hargi-Zulfiandi, bahkan Evan sebagai kapten selalu tampil full disetiap pertandingan. Namun, dengan rotasi-rotasi coach Indra saat ini, Ia mengajarkan untuk tak gentar menghadapi siapapun. Bagaimana mereka tanpa Egy Maulana Vikri yang merupakan kunci dari tim ini tetap bermain baik. Pun saat Abimanyu, Todd Ferre, Saghara, Saddil tak dimainkan, tidak memengaruhi sama sekali ritme permainan yang mereka tampilkan.
Mentalitas  mereka ditempa di tiga laga terakhir saat melawan Filipina, Vietnam, dan Thailand. Laga yang paling menguras mental bertanding Asnawi dan kolega adalah saat menghadapi Filipina, di menit ke-30 Chester Gio menjebol gawang Muhammad Riyandi, skor 1-0 sepertinya akan menjadi hasil akhir pertandingan ini. Namun dengan militansi dan tekad yang kuat mereka berhasil menceploskan 4 gol dalam kurun waktu 8 menit terakhir.
Pun saat menghadapi Vietnam, mereka seperti menemui batu karang besar namun dengan keyakinan mereka tetap bisa menang meskipun tim dalam kondisi rotasi. Sebenarnya saat menghadapi Laos di laga pertama pun mereka mengalami kebuntuan saat lawannya bermain parkir bus. Namun alih-alih frustasi pada akhirnya Saddil berhasil memecah kebuntuan di laga tersebut.
Tentu saja ujian-ujian mental seperti ini sangat penting untuk dapat melewati fase-fase berikutnya. Mereka jadi lebih kuat dan sabar serta matang dalam mengkonversi kesulitan di pertandingan. Belum lagi provokasi-provokasi lawan yang bisa mengacaukan konsentrasi bermain di babak selanjutnya akan lebih besar.
Buah dari Pembinaan Indra Sjafri
Hasilnya bisa dilihat dari para pemain jebolan Timnas U-19 tahun 2013 lalu. Mereka kini menjadi tulang punggung Timnas U-23. Adapun yang tidak terpilih oleh Luis Milla di tim tersebut, mereka tetap menjadi aktor di tim yang berlaga di Liga 1. Bahkan beberapa berkelana ke kompetisi luar negeri.
Seperti Ryuji Utomo dan Yanto Basna yang sebenarnya menjadi bagian tim juara dan talentanya ditemukan oleh Coach Indra, namun Ryuji kerap jadi pilihan kedua setelah Hansamu Yama. Pun dengan Basna yang sebelum even tersebut dimulai mengalami cedera dan akhirnya harus menepi. Keduanya kini bermain di kompetisi Thai League 2 2018 bersama PTT Rayong dan Khon Koen FC.
Sedangkan pemain lain yang berlaga di luar Indonesia adalah Evan Dimas dan Ilham Armayn. Bersama Selangor FA mereka kerap jadi andalan. Klub bekas Bambang Pamungkas dan Andik Vermansyah ini mengakui jika keberadaan Evan khususnya sangat penting. Hal tersebut sempat memunculkan kemelut dengan kubu PSSI saat mereka meminta Evan dan Ilham tetap bisa mengikuti pelatnas untuk persiapan Asian Games 2018.
Selain itu, pemain yang beredar di Liga  1 alumnus anak asuh Indra Sjafri ini sangat banyak. Dari lini belakang sampai depan semuanya dipergunakan jasanya bersama Bhayangkara FC, Barito Putera, Bali United, dan lainnya. Hal tersebut cukup menarasikan jika hasil pembinaan pelatih yang dianggap sukses dalam metode blusukannya ke pelbagai daerah ini sukses besar.
Akan tetapi metode blusukannya hari ini dianggap tak relevan. Coach Indra cukup terbantu dengan regulasi U-23 di Liga 1 beberapa waktu lalu sehingga dapat memunculkan pemain muda berkualitas. Selain itu Ia pun berterima kasih kepada klub yang telah mendirikan Diklat/akademi klub mereka. Hal demikian cukup meringankan Coach Indra dalam melakukan scouting pemain.
Walaupun begitu, demi target berjaya di Asia dan masuk Piala Dunia, regulasi dan Diklat saja tak cukup. Pembibitan pemain harus lebih kompleks, kompetisi berjenjang dari U-15, U-17, U-19 harus digelar oleh PSSI. Selama ini baru pihak swasta semacam Liga TopSkor, Milo Football Championship, Liga Kompas, dan lain-lain yang berani merogoh kocek untuk menggulirkan kompetisi.
Karena bisa kita ketahui bersama, menjalankan kompetisi usia muda itu berat. Tak ada hitung-hitungan laba disana. Tidak ada tiket penonton, brand peserta, value pemain, yang bisa menyedot keuntungan.
Dalam hal ini, selain kompetisi Liga 1, Liga 2, Liga 3, dan Piala Indonesia. Badan Liga harus mulai fokus membenahi kompetisi usia muda. Bisa saja tiap klub profesional yang berlaga di Liga 1 dianjurkan untuk membangun sebuah tim muda yang yang berkompetisi dibawah naungan federasi dan outputnya bisa dimanfaatkan oleh Timnas U-16 dan Timnas U-19.
Kekalahan yang Kita Butuhkan
Pada akhirnya Timnas U-19 bisa belajar banyak saat mereka kalah dari Matee Sarakum cs di laga pamungkas Grup A. Meski demikian kekalahan ini tak menggugurkan sedikitpun kesempatan Garuda Nusantara berlaga di fase berikutnya. Mereka lolos dengan status runner-up grup dibawah Thailand.
Coach Indra sekali lagi melakukan rotasi dengan memainkan David Rumakiek di posisi bek kiri, Rifad Marasabessy di sektor bek sayap kanan, Aji Kusuma di lini depan, Â Aqil Savik menggantikan Muhammad Riyandi sebagai penjaga gawang, serta memainkan Saddil dan Todd Ferre sejak menit awal.
Nathawut Chootiwat membungkam gemuruh Delta Sidoarjo dengan golnya di menit ke-41, tak berselang lama setelah turun minum Matee Sarakum semakin membuat stadion yang terisi 25 ribu penonton itu makin hening. Setelah gol tersebut Timnas U-19 kita baru mendominasi permainan, sehingga di menit 84 Rifad Marasabessy memperkecil skor menjadi 2-1.
Meskipun Todd Ferre, Saddil, M. Rafli Mursalim, dan Witan Sulaiman bergantian menggempur tembok kokoh Thailand skor tetap tak berubah (2-1). Kekalahan yang sangat berharga menurut saya, semangat belajar dari para pemain akan membuat mereka lebih kokoh. Jika targetnya AFC Cup coach Indra mendapatkan evaluasi yang berharga dari laga ini.
Memang banyak sekali supporter kita yang sangat kecewa dengan hasil ini dan mereka hanya perlu diingatkan bahwasannya tim U-19 ini masih dalam konteks pembinaan dalam tatanan sistem pembinaan sepakbola Indonesia. Targetnya hanya tentang bagaimana tim ini bisa berproses yang kemudian berbuah progres. Sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh pelatih Indra Sjafri dalam rotasi demi rotasi dan steatmen yang selalu diawali dengan: "Kami mendapat pelajaran hari ini".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H