Belgia dalam rangking FIFA bertengger di peringkat ke-3 (Per Juni 2018). Selain itu pemain kelas dunia menghuni skuad mereka di Piala Dunia Russia ini, bonusnya mereka berhasil menyingkirkan Brazil di fase perempat final. Apakah dua data diatas merupakan sebuah kebetulan belaka? Tentu saja tidak. Sebegitu besarkah andil seorang pelatih bernama Roberto Martinez bagi sepakbola Belgia. Jawabannya adalah tidak terlalu!
Karena Martinez tak ubahnya konsumen dalam prosedur jual-beli di sebuah pasar. Kebetulan Ia menangani sebuah tim dengan talenta yang luar biasa. Dan Martinez patutlah berterima kasih kepada Michael Sablon. Siapakah dia? Seorang bapak revolusi sepakbola Belgia
Tanpa keterpurukan di Piala Eropa edisi 2000, mungkin tidak akan pernah lahir generasi emas Belgia hari ini. Tim yang saat itu diperkuat penyerang gaek Emile Mpenza dan Luc Nilis dalam formasi 4-4-2, hanya bisa meraih sekali kemenangan saat meladeni Swedia. Padahal saat itu setan merah berstatus sebagai tuan rumah bersama Belanda. Alhasil mereka mengakhiri even tersebut dengan menempati posisi juru kunci di fase grup.
Usai ditaklukan oleh Turki, presiden federasi sepakbola Belgia Michael D'Hooghe menghubungi Michael Sablon. Isi dari pesan yang disampaikan oleh D'Hooghe kepada Sablon tidak lain mengenai kesalahan Marc Wilmots dan kolega sebagai pemain. Dirasakannya formula 4-4-2 yang kerap dimainkan Belgia telah usang dan butuh kesegaran baru dalam sepakbola mereka. Bukan hanya soal identitas bermain, kualitas pemain Belgia pun perlu diperbaiki. "Dan itu tugas Anda sebagai direktur teknik. Tolong ubah ini menjadi lebih baik", D'Hooghe mengakhiri percakapannya.
Sablon langsung bergegas menuju kantornya dan mengambil selembar kertas dari laci meja. Ia mulai membuat rumusan masalah sepakbola negerinya. Tentu saja tidak dalam waktu singkat, butuh proses panjang dan bukan hal yang mudah mengubah wajah sepakbola di negeri yang berpenduduk banyak macam Belgia.
Semenjak saat itu, Sablon bertualang melakukan riset ke negara tetangga. Ia pergi ke selatan, Perancis dianggap sukses dalam hal perombakan sistem pendidikan keolahragaan, program akademi pemuda, dan teknik pelatihan. Gerard Houllier dianggap menjadi tokoh penting dalam menuai generasi emas era Zinedine Zidane, Thierry Henry, Claude Makelele, dan lainnya. Perancis tengah berada dalam puncak kejayaan setelah sukses meraih juara Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000.
Dua kali dalam setahun Sablon mempunyai jadwal rutin mengunjungi Houllier untuk berguru soal ini. Di utara, Sablon belajar banyak pada Johan Cruyff terkait pengembangan individu dan taktikal permainan. Selama bertugas Sablon didampingi oleh kedua assisten nya yakni, Marc Van Geersom dan Bob Browaeys.
Setelah studi literaturnya mengenai sistem pembinaan telah dirasa cukup. Sablon mulai membikin formula kurikulum pelatihan sepakbola usia dini dengan pakem 4-3-3. Universitas Brussels dan Universitas Louvain membantu Sablon dalam mengaudit sistem pembinaan di seluruh usia. Diantaranya dengan mengoleksi ribuan detak jantung pemain dan 1500 rekaman video pertandingan usia dini dipelbagai jenjang usia. Upaya mengumpulkan dan menganalisis data ini membutuhkan waktu 2.5 tahun dan melibatkan 70 ahli di berbagai bidang. Dari hamparan data itulah Sablon memutuskan pakem 4-3-3.
Terkait kurikulum itu sendiri mereka sebetulnya tidak merancang program yang istimewa. Sama seperti pembinaan Grassroots level pada umumnya di sepakbola. Seperti di jenjang usia 5-8 tahun, mereka membiarkan para pemain memainkan sepakbola dengan kesenangan tanpa diatur oleh law of the game dan teknik dasar bermain sepakbola seperti passing, dribbling, stop ball, shooting, dan lain-lain.
Dalam usia ini sangat penting menanamkan mindset bahwa sepakbola itu menyenangkan. Pelatih tidak boleh menerapkan latihan dengan intensitas serius yang kemudian bisa memicu kejenuhan dalam berlatih. Di Indonesia pun tak jauh beda, para pelatih di SSB biasanya mengelompokkan pemain ini ke dalam fun phase alias fase bersenang-senang.
Baru di usia 10-12 tahun pemain bisa diajarkan teknik dasar bermain bola dan dikenalkan dengan taktikal. Cetak biru sepakbola Belgia dengan Indonesia sejatinya hampir serupa. Secara garis besar, program pembinaan sangat diharamkan untuk mencari kemenangan atau prestasi. Lebih rinci lagi kurikulum Filanesia (Filosofi Sepakbola Indonesia, read) pun memiliki pakem 4-3-3. Mungkin yang membedakan hanya dari isi program latihannya itu sendiri.
Di Italia passing menjadi materi pokok dan selalu ada disetiap sesi latihan. Pun dengan di Jerman, Inggris, dan negara lainnya. Sekali lagi, tidak ada yang spesial dengan pemikiran seorang Michael Sablon saat merevolusi sepakbola Belgia. Menyoal persepsi pun sama dalam memandang sepakbola usia dini.
"Jika tujuan Anda memenangkan pertandingan. Tolong berhenti saja jadi pelatih. Hentikan pembinaan, lalu pergi saja memancing", katanya. Itu mungkin yang membedakan sistem pembinaan Indonesia dengan Belgia. Di Indonesia, Timnas junior di berbagai jenjang usia sudah diberi target yang macam-macam.
Itu kenapa Syamsir Alam, Yongki Ariwibowo, Yandi Sofyan, dan lain-lain layu sebelum berkembang. Bisa saja mereka terlalu berpuas diri dengan apa yang sudah mereka raih di level junior. Berbicara revolusi sepakbola, kita pernah melihat betapa Jerman melakukan perombakan besar-besaran terhadap sistem pembinaan dan pelatihan atlet sepakbolanya.
Jerman butuh waktu 14 tahun untuk benar-benar menuai hasilnya. Pun dengan Jepang, dulu saat Mario Kempes bermain di Indonesia, federasi sepakbola Jepang pernah menjadikan Indonesia sebagai tempat observasi. Artinya Jepang pernah belajar ke Indonesia. Tak jauh seperti saat Sablon pergi ke selatan dan Utara untuk mengumpulkan referensi program dan sistem sepakbola.
Bagi Sablon, butuh 6.5 tahun agar kurikulumnya diterapkan di seluruh penjuru negeri di Belgia. Namun hasilnya tak berjalan mulus. Belgia menerima kekalahan 6-1 saat menerapkan formula 4-3-3. "Orang-orang di asosiasi mencibir kami. Namun kami meminta mereka bersabar. Dan benar saja empat tahun kemudian (Piala Eropa U-17 2007) kami masuk posisi empat besar. Itu adalah hasil mengesankan dari buah kesabaran", Sablon mengingat momen itu.
Kevin de Bruyne dan Eden Hazard merupakan talenta yang langka. Namun sepertinya kedalaman skuat Belgia tak akan berhenti di generasi mereka saja. "Lihatlah tim U-21. Lihatlah tim U-17. Kami memiliki pemain bagus di kelompok 16 tahun juga. Saya minta maaf tetapi (generasi Eden Hazard cs) ini bukan kebetulan. Kami memiliki sistem dan kami memiliki visi. Ini bukan hanya generasi emas. Dan generasi emas ini akan terus berlanjut", ungkap Browaeys kepada skysports.
Sablon kini telah pergi. Jasanya tengah dipergunakan oleh Federasi Sepakbola Singapura (FAS). Sejak 2015 Ia menjabat direktur teknik disana. Namun kinerjanya dalam membangun fondasi sepakbola Belgia tak akan pernah mudah dilupakan.
Andai saja Sablon memiliki reaksi berbeda saat uji coba sistemnya dipermalukan dengan kekalahan 6-1 dan asosiasi mencibirnya. Mungkin saja hari ini Neymar cs tak pulang lebih cepat dari Rusia. Sebuah pembelajaran yang dapat kita ambil dari Sablon soal sistem pembinaan adalah kesabaran. Hal yang kerap terlupakan di Indonesia, negeri yang kaya potensi sepakbola ini.
Jika kita memberlakukan perhitungan matematis untuk revolusi sepakbola sebuah negara. (Jerman yang butuh 14 tahun untuk jadi juara dunia), revolusi dari Sablon ini akan matang atau mencapai puncaknya tatkala Belgia tampil di Piala Dunia 2022 atau lebih cepatnya di Piala Eropa 2020. Bahkan di Piala Dunia Russia bisa saja masyarakat bola Belgia meminggirkan hitungan matematis itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H