Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Klub Profesional yang Enggan Ideal

5 November 2017   20:39 Diperbarui: 6 November 2017   00:24 2287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Bolasport.com

Ada dua kata yang memisahkan Persib Bandung musim ini: Profesional dan Ideal. Harus diakui, tim Maung Bandung merupakan salah satu klub di Indonesia yang mendapat label profesional dari AFC. Hanya segelintir klub nasional yang mampu mendapat label tersebut salah satunya Arema. Dari segi keuangan klub, Persib bisa dikatakan salah satu proyek percontohan klub pro masa kini di tanah air. Semua sektor yang berkaitan dengan klub, dikelola dengan benar dan tentunya menimbulkan feedback yang luar biasa bagi kas manajemen.

PT. Persib Bandung Bermartabat atau disingkat PT.PBB yang menaungi tim ini perlu diacungi jempol dalam hal pendanaan klub. Mereka senantiasa konsisten menggandeng sponsor dengan nilai-nilai yang tak masuk diakal atau membuat klub lain iri. Keberadaan Bobotoh sebagai fanbase klub merupakan hal utama yang diinginkan/diincar oleh pihak ketiga (sponsor). Dan, tanpa adanya sponsorship pun rasa-rasanya Persib akan sanggup sekurang-kurangnya untuk memenuhi kebutuhan pemain hanya dari saku bobotoh.

Ticketing, merchandise, hingga kata 'udunan bobotoh' (baca: iuran bobotoh) pun akan sanggup membiayai Persib alakadarnya sebagai klub yang berkiprah di Liga Utama (Seandainya Persib tidak mampu menggaet sponsor). Seperti yang terjadi saat bobotoh mengumpulkan koin sebagai bagian daripada membantu klub yang disanksi akibat aksi "Save Rohingya" yang dianggap oleh PSSI sebagai aksi yang mengandung muatan politik dan melanggar statuta.

Musim ini, bobotoh terlalu dikecewakan oleh manajemen lantaran mereka menganggap bahwa para petinggi klub menggunakan nama besar Persib Bandung sebagai tools atau alat demi menjalankan proses bisnis. Musim ini bisnis merupakan orientasi klub. Golden era hanyalah kedok dari proses bisnis yang pada akhirnya membuat bobotoh merasa dirugikan melihat tim-nya terseok-seok di papan bawah.

Tentunya, bobotoh sebagai rakyat memiliki wewenang penuh untuk mengkritisi klub-nya. Adapun beberapa hal telah disampaikan melalui aksi nyata dan beberapa aksi lain. Sepanjang musim ini, Bobotoh telah melakukan beberapa aksi sebagai bentuk protes terhadap klub kesayangannya yang menurut mereka sendiri sudah keluar dari jalur sebuah klub sepakbola. 

Salah satunya dengan aksi turun ke jalan alias demontrasi, kemudian aksi lainnya dengan mengosongkan stadion saat Persib bermain kandang, ada juga aksi yang lebih ekstrim dengan cara turun ke lapangan hingga mengejar pemain sampai loker room sambil meneriaki nada-nada sumbang kepada pemain.

Aksi demi aksi diatas menunjukan bahwa mereka sedang kecewa dan berharap manajemen/para petinggi klub segera mengadakan evaluasi. Didengar atau tidak, bobotoh adalah rakyat yang benar. Rakyat sebagaimana rakyat dalam sebuah Negara yang memiliki kuasa penuh untuk mengkritisi, menyuarakan, dan mengawal kerja para pejabat klub.

Dalam hal ini, penulis pun punya kuasa untuk mengeluhkan apa saja keluh kesah yang ingin disampaikan karena data dalam artikel yang baik itu biasanya berawal dari keresahan alias pengalaman si penulis itu sendiri. Baiklah, diluar si penulis ini bobotoh atau bukan. Jika pun penulis dianggap bukan seorang bobotoh Persib maka anggap saja penulis merupakan salah seorang penulis yang sedang respek terhadap sebuah klub besar yang tengah terpuruk musim ini. Kumaha maneh we!

Banyak hal-hal elementer/sederhana di lapangan mengenai kesalahkaprahan dalam arti lain tidak ideal bagi sebuah klub, yang mungkin tidak disadari/bisa jadi disadari tapi manajemen tengah berpura-pura tidak sadarkan diri. Adalah masalah orang-orang yang duduk di bench, dan SOP/tata cara seorang manajer bertindak dalam bursa transfer. Dua hal sederhana tapi vital sekali rasanya.

Kita awali dari bursa transfer terlebih dahulu, mengingat sebelum mengawali musim sebuah klub harus mengarungi fase ini. Campur tangan, Ya, kombinasi dua kata diatas agaknya sudah bisa ditebak oleh para bobotoh fanatik. Selalu ada intervensi mengenai perekrutan pemain dari manajemen. Sebetulnya, seorang manajer hanya memiliki kuasa untuk memilih pelatih di bursa transfer, selebihnya serahkan kepada pelatih yang telah ditunjuk untuk merekrut pemain yang diinginkan.

Sebuah kesalahkaprahan di Persib yang makin kronis ini cukup memengaruhi kinerja seorang juru racik strategi. Kita flashback ke belakang, bagaimana seorang Djadjang Nurdjaman memulai musim keduanya setelah mempersembahkan gelar juara dengan istilah kata transfer "panic buying". Karena Djanur hanya diberikan separuh kuasanya dalam memilih pemain.

Awal musim ini, Djanur menginginkan Rizky Ripora dan Konate Makan serta beberapa pemain yang pernah mengukir kejayaan bersamanya di musim sebelumnya. Namun, yang datang adalah Rafael Maitimo, Carlton Cole, hingga Michael Essien. Tiga nama tersebut sudah jelas tidak masuk dalam rencana Djanur untuk musim ini. 

Dari kacamata seorang awam pun, keberadaan Maitimo dan Essien yang notabene berposisi di lini tengah dianggap mubazir mengingat di posisi tersebut Persib sudah penuh. 

Pada akhirnya, Djanur hanya mampu menggunakan separuh kuasa-nya dalam merekrut pemain dengan mengembalikan Jufriyanto, Supardi, Vujovic, dan Dedi Kusnandar. Lalu siapa yang menginginkan mereka? Sebuah pertanyaan yang jawabannya pasti sama, kita (bobotoh dan penulis) sudah tahu sama tahu.

Wajar saja, jika Persib tidak maksimal musim ini. Seharusnya Coach Djanur lebih memilih mundur sebelum kompetisi di mulai namun rasa cinta-nya mengalahkan segala keruwetan/carut-marut yang ada di kursi manajemen menyoal intervensi ini. Dan seorang legenda macam Djanur pun pada akhirnya akan kehilangan rasa cinta-nya setelah bobotoh menginginkannya mundur dari kursi pelatih dengan segala cara, seolah hanya pelatih yang patut disalahkan, seolah hanya seorang Djanur yang berdosa waktu itu.

Sedikit lebih jauh kebelakang, Dejan Antonic yang memiliki lisensi kepelatihan UEFA Pro pun pada akhirnya mengalami nasib serupa sebagaimana yang dialami seorang legenda bernama Djanur tadi. Bahkan, Dejan yang kualitas lisensi-nya lebih baik dari pelatih-pelatih sebelumnya yang pernah menangani Persib, pernah beberapa kali bersuara mengenai intervensi dari manajemen.

Saat itu, Dejan hanya bisa menggunakan kekuasaannya sebesar 50% dalam merekrut pemain yang masuk dalam rencana strateginya. Hanya eks pemain Pelita Bandung Raya yang pernah berkobar bersamanya semacam Rahmad Hidayat, David Laly, Kim Kurniawan, hingga Hermawan yang bisa Ia masukan ke dalam perencanaan. Selebihnya, manajemen seolah menggunakan hak-nya sebagai assistan pelatih!

Musim ini belum berganti, namun manajer lebih lantang bersuara siapa-siapa saja pemain yang layak dipertahankan atau tidak. Seharusnya, berbicara ideal, manajer perlu membicarakan pelatih terlebih dahulu. Tidak elok rasanya menaikan penumpang ke dalam bus tanpa tahu supir yang membawa bus tersebut mau kemana, semua akan salah arah/nyasar. Sama halnya seperti kesalah-kaprah merekrut pemain tanpa kehendak pelatih!

Intervensi tidak hanya berhenti sampai disitu, bagaimana saat menentukan pergantian pemain pun manajer berinisial "U.M" ini kerap menggerecoki pelatih. Keberadaan U.M di bench membuat pelatih kepala tidak bebas mengalirkan ide-nya. Bagaimana Coach Herjos (Herrie Jose Setiawan) kadang harus memutar otaknya saat ingin melakukan pergantian. 

Herjos selalu dihadapkan dalam pilihan sulit, antara menuruti perintah atasan atau menuruti kehendaknya sendiri. Tak jarang melalui kamera di televisi Herjos lebih memilih berdiskusi dengan manajer ketimbang assisten-nya sendiri macam Sutiono Lamso, Anwar Sanusi, atau Yaya Sunarya. Juga Emral Abus, pelatih senior ini untuk apa dikontrak jika kuasanya di rampas?

Keberadaan manajer di bench pemain merupakan masalah klasik dan cukup berkaitan dengan topik yang akan dibicarakan selanjutnya (Orang-orang yang duduk di bench). Selain manajer, bisa kita saksikan secara seksama bagaimana para petinggi klub selalu rela berdesakan di bench bersama pelatih, pemain, dan official. Bahkan salah satu petinggi rela jabatan-nya dialihfungsikan menjadi kitman dalam DSP (Daftar Susunan Pemain) klub hanya demi bisa duduk di bench. 

Hal demikian bukanlah merupakan aksi heroik yang perlu diacungi jempol karena para pejabat tersebut mengira bahwa dirinya merakyat atau mencintai Persib secara total!

Justru dengan keberadaan mereka hanya akan memperumit situasi sulit di lapangan, selain pelatih, pemain, dan official merasa di intervensi. Ada hal lain yang wajib dipatuhi, seharusnya yang duduk di bench itu yang paham betul regulasi. Agar tidak ada perbedaan pandangan antara perangkat pertandingan dan oknum yang berada di bench itu sendiri. 

Contoh yang paling dasar, orang-orang yang duduk di bench tanpa pengetahuan soal regulasi akan menimbulkan protes-protes yang tidak jelas dan cukup mengganggu jalannya pertandingan.

Keterlibatan penulis dalam sepakbola usia dini membuat penulis sendiri menjadi semakin terbuka mata-nya akan standarisasi/SOP sebuah tim dalam menjalani pertandingan. Biasanya, sebelum pertandingan akan diadakan screening untuk mengabsen pemain, pelatih, serta official tim. Jika ada orang tua pemain/orang yang tidak terdaftar dalam proses screening di pertemuan tehnik sebelumnya maka yang bersangkutan tidak bisa memasuki area lapangan/bench.

Demi ketertiban, ini harus di tegaskan kembali aturan-nya oleh operator Liga. Jangan sampai kejadian Walk Out yang diberikan wasit Shaun Evans kepada Persib Bandung saat melawan Persija Jakarta kembali terulang. Kekisruhan yang terjadi dalam pertandingan klasik kemarin adalah pelajaran berharga bagi PT.Liga/Operator beserta jajarannya, maupun bagi PT.Persib Bandung Bermartabat beserta manajemen dan jajarannya.

Persib Bandung memiliki supporter yang jumlahnya besar, supporter yang fanatik. Dan Persib terlihat professional mungkin karena masa pendukungnya yang luar biasa. Terlepas dari diakui oleh AFC sebagai klub berlisensi dan dapat berkiprah di turnamen Asia. Persib hanyalah tim besar yang dibesarkan oleh sebuah kelompok bernama bobotoh. Sedangkan Persib-nya sendiri masih enggan ideal dengan permasalahan-permasalahan elementer/sederhana yang ada.

Jadi kembali, walaupun penulis memposisikan diri sebagai penulis (bukan simpatisan Persib), sejujurnya penulis belum siap melihat Liga 1 tanpa kehadiran Maung Bandung hanya karena manajemen yang tidak paham regulasi (menarik para pemain di tengah pertandingan, untuk kemudian diberi Walk Out oleh wasit). Karena ancaman terbesar sanksi yang kemudian hari akan diterima Persib dari hal tidak terpuji itu adalah degradasi ke Liga 2 dari komdis. 

Semestinya "Derbi Indonesia" yang mempertemukan klub dari Kota Jakarta dan Bandung itu bisa lebih memberi sesuatu yang berkesan bagi kedua belah supporter yang tengah berusaha berdamai. Atau beginikah caraTuhan untuk mendamaikan Jakmania dengan Bobotoh?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun