Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Sepak Bola yang Menuntut Kesempurnaan

24 Oktober 2017   08:51 Diperbarui: 25 Oktober 2017   09:41 3566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkadang, penulis merasa sepak bola itu tidak adil. Program latihan mingguan dan bulanan yang dijalani hanya diuji dalam waktu singkat 2 x 45 menit (khusus grassroot level hanya 2x10-15 menit saja). Maka dari itu, saya selalu katakan kepada para pemain agar jangan melakukan kesalahan sekecil apapun dalam pertandingan. Error passing adalah salah satu dosa besar yang bisa mencoreng kinerja pemain dalam pertandingan.

Pada tanggal 21-22 Oktober 2017 lalu, saya mengirimkan satu tim kelompok usia 10 tahun di Piala Walikota Tasikmalaya. Dan, langkah kami (baca: Bintang Timur Soccer School) terhenti di babak 16 besar setelah membombardir pertahanan SSJ Arcamanik Bandung namun kebobolan melalui kesalahan elementer bernama error passing itu.

Sepanjang perjalanan pulang saya berpikir untuk mengevaluasi program latihan, selama ini saya selalu tekankan bahwa passing power, defence, dan penguasaan bola merupakan salah satu menu wajib yang selalu ada dalam latihan. Mengingat, soal menyerang adalah naluriah. Setiap pemain pasti memiliki naluri menyerang yang sama, tapi saat bertahan tidak semua pemain sudi turun ke belakang setelah melakukan serangan.

Ada yang lupa dan tidak saya masukan ke dalam program latihan selama ini, yaitu finishing touch (baca: sentuhan akhir) . Efek daripada program latihan begitu terasa, tim bermain cantik namun di sisi lain tidak ada pemain yang berani menyelesaikan permainan dalam artian menceploskan bola ke gawang lawan. Bagaimana saat target man berhadapan man to man dengan penjaga gawang Ia malah mengoper bola ke rekannya padahal momen tersebut adalah waktunya shooting.

Ada kegelisahan yang mendalam sepulang dari Stadion Wiradadaha, Kota Tasikmalaya. Tidak seperti di turnamen sebelum-sebelumnya, ketika kalah saya masih bisa mengatakan bahwa yang terpenting di sepak bola usia dini itu adalah progress pemain itu sendiri bukan kemenangan/trofi.

Coach Timo mengawali buku kurikulum sepakbola Indonesia dengan kalimat "Xavi, gelandang FC Barcelona, saat ditanya soal kehebatan FC Barcelona menjawab demikian: 'Di La Masia (Akademi FC Barcelona) kami tidak ditempa untuk menang namun untuk berkembang'".

Ini berbanding terbalik dengan pembinaan di Indonesia. SSB sibuk menggapai prestasi tak ubahnya sebuah klub sehingga lupa bahwa prestasi sebenarnya adalah pembentukan pemain secara menyeluruh; teknik (bagaimana melakukan sesuatu), taktik (pengertian permainan atau pengertian akan mengapa melakukan sesuatu), fisik dan mental (menempa karakter yang positif dan kuat yang begitu penting artinya baik untuk kehidupan sang pemain secara keseluruhan maupun untuk perkembangannya sebagai pemain bola).

Tiga hal di atas yang bisa menopang progress dari pemain usia dini. Dan, saya akui Piala Walikota Tasikmalaya sebagai turnamen yang bergengsi membuat saya keluar dari koridor paham sepak bola usia dini yang mendambakan perkembangan bukan kemenangan. Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi, anak akan merindukan gelar juara. Belum lagi orang tua pemain yang selalu mendesak target untuk juara.

Kapan kita juara? Selalu ada pertanyaan demikian dari para orang tua. Hal ini mengejewantahkan bahwa perlu sekali kita memberikan edukasi terhadap mereka. Namun, kembali, edukasi soal pembinaan usia dini tidak berlaku lagi mengingat mereka sudah mengeluarkan banyak uang untuk mencapai tujuan benak mereka untuk target juara.

Dan, selama mengikuti turnamen di luar kota kami selalu nihil membawa prestasi terbaik. Ada asumsi bahwa anak akan jenuh ikut turnamen tanpa hasil, hal demikian cukup berbahaya bagi psikologis si anak. Sebagaimana kesalahkaprahan pembinaan usia dini di Indonesia yang disebutkan oleh Coach Timo di penggalan kalimat pembuka buku kurikulum grassroot diatas, tidak munafik, SSB kami butuh juara. Ini berkaitan erat dengan tuntutan para orang tua dan psikologis anak.

Jadi, ada sebuah pertentangan dalam pembinaan sepak bola, blok pertama menyatakan bahwa grassroot itu soal progress, blok kedua berasumsi bahwa gelar juara juga dibutuhkan untuk memotivasi si anak dalam berlatih. Tentu saja, jika kita ingin ideal maka kedua blok itu harus bisa dikuasai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun