Sudah kita ketahui bersama bahwasannya pembinaan usia dini merupakan fondasi pembangunan prestasi. Entah itu pembinaan pemain sepak bola maupun pembinaan-pembinaan lain, apapun itu. Dalam bahasa sederhananya pembinaan merupakan kunci, ujung tombak, atau cerminan masa depan suatu cabang. Contoh dasar terjadi di pembinaan pemain sepak bola nasional, kenapa Timnas Indonesia sulit sekali berprestasi di berbagai jenjang usia? Salah satu jawabannya adalah pembinaan sepakbola akar rumput masih belum bisa dikatakan ideal sebagaimana yang berlaku di Negara lain.Â
Memang sistem kompetisi sangat menentukan kualitas tim nasional, karena Liga nomor satu di tanah air merupakan cerminan daripada tim nasional itu sendiri. Jika kompetisi bagus dalam segala aspek kita tentu akan melihat Timnas tak jauh dari pohonnya. Agaknya analogi yang berbunyi: hasil tidak akan mengkhianati prosesnya, berlaku di segala bidang. Sebagai Negara besar tentu saja kita berusaha untuk menjadi besar dan terbaik dalam segala aspek kehidupan.Â
Salah satunya dalam hal mengonsumsi mie instan. Ini fakta, khususnya bagi para perantau dan mahasiswa. Internet (baca: Indomie Kornet Telor) masih jadi pegangan hidup mereka. Hal ini merembet ke aspek kehidupan lain, termasuk logika/cara berpikir penghuni NKRI dewasa ini, semua ingin serba instan. Bahkan melihat sepak bola pun dengan cara yang sama.Â
Betapa stakeholder sepak bola selalu merasa suka terhadap hal-hal yang berbau instan salah satunya naturalisasi pemain. Entah sudah berapa belas pemain yang dicoba untuk di Indonesiakan kewarganegaraannya. Tidak salah memang menerima orang yang ingin berpindah warga Negara, namun dengan adanya naturalisasi pemain, kita seakan di nina bobokan oleh mie instan tadi.Â
Bagaimana prioritas bagi pribumi seolah-olah terusik. Penampilan alakadarnya Ezra Wallian di semifinal Sea Games 2017 saat menghadapi tuan rumah Malaysia seakan mengajarkan kita bahwa pembinaan pemain pribumi sejak dini lebih penting ketimbang naturalisasi. Toh kualitas pribumi pun tak kalah, bukan? Dan satu lagi pembelajaran yang kita dapat dari Sea Games 2017 beberapa waktu silam, pelatih mahal tidak menentukan prestasi.Â
Lagi, kata instan seakan akrab sekali di pikiran rakyat yang bangsa nya merdeka atas nama perjuangan dan proses tentunya. Keberadaan Luis Milla Aspas yang datang dengan keglamouran sepakbola Eropa bukan merupakan sebuah jawaban tepat. Lantas, apakah memutuskan kerja sama dengan eks pelatih Timnas Spanyol Junior itu merupakan langkah tepat? Tidak juga, hal tersebut tentu akan mengulang kesalahan elementer kita di masa lalu. Untuk saat ini biarkan Milla menuntaskan target-target terdekatnya bersama Timnas, kalau bisa kontrak dia diperpanjang agar tuduhan mie instan kita atas penunjukan eks pemain Barcelona dan Real Madrid ini bisa dihapuskan oleh waktu.Â
Dengan syarat PSSI memercayai pelatih kepala Timnas dalam jangka 5-10 tahun kepada Milla. Biarkan Ia bekerja dengan tenang, tidak mendapat tekanan atas jangka kontrak yang terbilang pendek. Karena sejauh ini Timnas tidaklah buruk di tangan beliau. Jika pun hasil minor terus menaungi sepakbola kita, rasanya kita harus banyak-banyak bercermin atas apa kekurangan kita dan mengingat kembali negatifnya mengandalkan program mie instan. Tengoklah sepakbola akar rumput secara intens. Banyak masalah disana dan dalam kesempatan ini saya akan sampaikan sedikit keluh kesah sepakbola sektor ini sebagai pelatih SSB (Sekolah Sepak Bola).Â
Pertama, tidak adanya kurikulum yang mencerminkan identitas/jati diri Indonesia dalam bermain bola. Hal ini perlu disikapi oleh seluruh pihak terkait, apakah kita pernah punya identitas/filosofi saat bermain bola? Miris sekali bagaimana bangsa yang besar ini tak punya ideologi sepakbola yang mencerminkan Indonesia seutuhnya. Kadang kita meminjam tiki-taka Spanyol, Samba Brasil, atau meminjam ideologi sepakbola milik Belanda yang bernama total voetbal.Â
Sampai kapan kita meminjam ideologi sepakbola bangsa lain? Saya harap kedatangan Luis Milla Aspas tak ubahnya kedatangan mendiang Johan Cruyff ke Barcelona yang bisa menciptakan ideologi baru bagi Katalunya khususnya dan negeri matador pada umumnya.Â
Dan filosofi bola dari kaki ke kaki masih bermanfaat dan terus diperbarui hingga saat ini. Konon tiki-taka di Spanyol diajarkan sejak dini kepada siswa La Masia dan akademi-akademi lainnya. Dengan begitu, mereka sudah terbiasa dan nyaman menggunakan ideologi bangsanya ketika bermain sepakbola.Â
Lantas filosofi apa yang bisa mewakili identitas sepakbola bangsa ini? Agaknya kita harus menunggu Bung Karno versi sepakbola muncul. Dan saat ini kita sedang menunggu itu, karena dari dulu belum ada yang bisa memecahkan permasalahan ini. Dengan problematika ini kita seakan terlalu jalan di tempat ketika bangsa lain sudah membicarakan target trofi kita masih mencari jati diri. Memang ada pelatih kenamaan yang mencoba membuat kurikulum dan pedoman dasar sepak bola Indonesia.Â