Dara cantik asal Sidoarjo bernama Maulidia Octavia sedang mengundang kekaguman kalangan remaja tanah air. Bagaimana tidak, wanita kelahiran 1 Oktober 1990 ini mendongkrak kembali belantika musik dangdut Indonesia dengan terobosan-terobosan baru. Persepsi negatif terhadap genre dangdut yang selama ini dianggap kampungan atau ketinggalan jaman mulai menunjukan kembali pamornya dengan tampilan lebih segar dan kekinian berkat kehadiran wanita cantik dengan nama panggung Via Vallen itu.
Via Vallen muda merupakan penikmat sekaligus penyanyi pop. Rentetan musik dan grup luar negeri macam Evanescence hingga Avril Lavigne jadi pengiring bagaimana seorang Via tumbuh saat itu. Bahkan, nama panggung ‘Vallen’ berawal dari plesetan lagu Evanescence yang berjudul Fallen. Namun, apa yang membuat Via banting setir menjadi musisi dangdut? Adalah Muhamad Arifin yang mengubah genre bernyanyi Via.
Dimana orang tersebut merupakan ayah daripada Via Vallen, sang ayah yang juga merupakan seorang gitaris orkes melayu sering membawa Via saat manggung di berbagai tempat. Secara tidak langsung, aktivitas tersebut mengubah pola pikir penyanyi yang sukses di album Selingkuh itu. Pada akhirnya, keputusan Via berbuah manis, Ia begitu dikenal luas oleh masyarakat dari berbagai kalangan di tanah air.
Selaras dengan suaranya yang merdu, penampilannya pun tidak menarasikan seorang penyanyi dangdut. Ia berpenampilan lebih modis ala Korea. Dalam aksi panggungnya Via lebih sering membawakan cover lagu dari musisi kekinian tanah air maupun luar negeri. Lagu-lagu macam ‘Ku Tak Bisa’ gubahan grup band Slank dibawakan secara koplo, pun dengan lagu bergenre Regge dari Souljah berjudul ‘Kuingin Kau Mati Saja’, dan banyak lagi lagu lainnya yang di adopsi menjadi genre dangdut koplo. Agaknya terobosan itu yang membuat para anak muda mulai menerima kembali musik dangdut.
Selain sering mengcover lagu masa kini Via juga membawakan beberapa lagu berbahasa Jawa. Meski begitu, lagu yang dibawakan tetap bisa diterima oleh berbagai etnis. Termasuk etnis Sunda, etnis Betawi, dan lainnya. Karena itulah musik dangdut kini tak segan memasuki sekolah-sekolah hingga kampus-kampus tanah air.
* * *
Dunia sepakbola pun mengalami sedikit pergeseran pola permainan musim ini, tak ubahnya musik dangdut yang mulai diterima kembali oleh masyarakat, pola tiga bek yang mulai jarang digunakan oleh klub-klub top Eropa kini mulai bergeliat kembali diadopsi oleh beberapa pelatih termasuk mereka yang manggung di Liga Primer Inggris. Menjadi sebuah kejelasan ketika di Liga Italia menggunakan pola tiga bek adalah hal yang biasa karena memang tradisi sepakbola klasik masih terkandung disana.
Jauh sebelum Antonio Conte membawa pola 3-4-3 ke London Biru (baca: Chelsea), Louis van Gaal sudah lebih dulu menggunakan pola 3-4-1-2 bersama Manchester United. Lebih jauh lagi, saat Brazil menjuarai Piala Dunia 2002, pelatih Phil Scolari menempatkan Roberto Carlos dan Marcos Cafu sebagai penopang pola tiga bek.
Sebetulnya formasi tiga bek ini akan lebih efektif jika digunakan saat meladeni tim yang menerapkan pola 4-4-2.Idealnya, dua bek akan menjaga dua penyerang lawan,sementara satu bek lagi akan bertugas menyapu bola dari belakang. Kita bisa menarik kesimpulan dini dari pernyataan diatas, mengapa Juve bisa menguasai Seri A tiga tahun beruntun bersama Antonio Conte? Jawabannya sederhana: karena disana banyak yang menggunakan pola dua penyerang dengan 3-5-2, 4-4-2, maupun dengan 5-3-2.
Sebetulnya Conte pun menerapkan formasi 3-5-2, kenapa Ia bisa lebih baik dari tim lain yang menggunakan formasi sama? Karena kualitas pemain yang dimilikki Juve lebih baik dari tim lain. Bagaimana pola tiga bek Conte bersama Chelsea musim ini? sebenarnya tidak jauh berbeda, modul klasik tersebut bisa berjalan dengan baik karena ditopang pemain yang berkualitas.
Kita ungkap sedikit tabir dibalik penggunaan formasi 3-4-3 ala Conte musim ini di Chelsea. Tim baru menggunakan formasi 3-4-3 disaat menyerang, sedangkan ketika bertahan tim bertransisi menumpuk pemain bertahan menjadi 5-4-1 dengan memanggil para wingback untuk menjaga area pertahanan. Satu syarat utama yang harus dipenuhi dalam penggunaan pola tiga bek ini yakni tim harus memiliki seorang ball-playing defender.
Seorang bek yang benar-benar nyaman dengan bola, yang bisa memainkan umpan akurat ke sisi lapangan, dan yang dapat melebar juga. Hal ini sangat penting, mengingat pola klasik tiga bek ini sangat menekankan bahwa pertahanan adalah kunci. Poros permainan tim berada di area pertahanan, merekalah (para bek) yang memainkan tempo permainan. Conte mempercayai David Luiz untuk melakukan tugas tersebut.
Dan keberhasilan Conte di Chelsea mengundang kembali pola klasik yang dulu tidak digemari manajer besar di liga top Eropa. Kini, Arsene Wenger (Arsenal), Mauricio Pocchetino (Totenham), hingga Jose Mourinho (MU) pun menerapkan pola jadul itu. Terbukti, di jelang penutupan Liga Primer mereka bisa memperbaiki posisi klasemen dengan cara tersebut. Bahkan, The Special One berhasil menembus final Liga Eropa dengan pola tiga bek.
***
Sejurus dengan pola tiga bek, Leonardo Bonnucci merupakan ball-playing defender terbaik di dunia saat ini. Selepas Juve ditinggal sang maestro, Andrea Pirlo, ada sedikit kehkhawatiran siapa penerus nomor punggung 21 itu yang ciamik mengatur serangan. Alih-alih Sami Khedira yang dinobatkan sebagai penerus Pirlo, komando serangan di wariskan kepada Bonucci. Ia bertugas sebagai bek sekaligus playmaker, sebuah tugas ganda yang kini mulai ngetren di Eropa.
Saat ini, kesebelasan-kesebelasan besar di Eropa sangat membutuhkan pemain bertahan yang fasih mengatur serangan. Hal ini diperlukan agar tim tidak mudah kehilangan bola saat mendapatkan tekanan dari lawan, apalagi di sepertiga area pertahanan. Pemain bertahan modern dituntut untuk bisa melancarkan operan efektif, tidak hanya asal oper bola atau buang bola jauh-jauh.
Bahkan Guardiola mengakui kehebatan Bonucci sebagai bek modern. Eks pemain Bari itu dijadikannya sebagai bek favorit Guardiola. Bagi pelatih yang menuhankan penguasaan bola ini, mau tidak mau, suka tidak suka, dari pemain yang berposisi penyerang, gelandang, bek, sampai kiper pun harus bisa memeragakan ball playing. Ketika di Barca Ia harus mengorbankan gelandang untuk dijadikan seorang bek dalam memenuhi kebutuhan penguasaan bola dari belakang. Sebut saja korbannya Javier Mascherano (Barcelona) dan Javi Martinez (Bayern Munchen).
Maka dari itu, pemain seperti Leonardo Bonucci sulit ditemukan di tim lain alias langka. Defensive-Playmaker murni macam dia selalu didambakan oleh pelatih manapun. Dan Bonucci telah mengubah perspektif seorang bek yang melulu soal bertahan dan mengamankan area pertahanan menjadi lebih modern dengan cara melakukan tugasnya dengan baik sebagai ball-playing defender. Sama seperti Via Vallen yang bisa mengangkat kembali pamor dangdut, atau pola tiga bek yang dulunya dianggap menjurus ke parkir bus (membosankan) bisa kembali membumi di liga top Eropa hari ini, Leonardo Bonnucci pun merupakan salah satu revolusioner di bidangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H