Sudah sangat lama sekali saya ingin menulis ini. Pelbagai pertimbangan sempat menahan tulisan ini di draft. Termasuk menimang baik buruknya, saya cukup berhati-hati karena takut disebut riya apalagi so pahlawan. Hingga sampailah pada alasan lain, jika menulis merupakan proses merawat ingatan maka saya ingin memposisikan keputusan ini sebagai antisipasi kepikunan saat menceritakan semuanya kepada anak cucu dikemudian hari.
Bersama salah satu kawan yang memiliki lisensi kepelatihan D Nasional, akhir-akhir ini saya cukup intens bercengkrama dengan anak-anak usia 6-12 tahun (Grassroots level), 13-15 tahun (Youth Formative Phase), hingga 16-17 tahun (Youth Final Phase) di lapangan sepak bola milik swadaya.
Sebetulnya, ini bukan kali pertama saya terlibat langsung dalam pembinaan pemain muda, dulu, ketika hanya berbekal pengalaman bermain di level kabupaten/kota/provinsi bersama SSB (Sekolah Sepak bola), PS (Persatuan sepak bola), klub lokal, hingga tarkam saya tuangkan dalam program latihan, walaupun tidak terstruktur seperti sekarang ini setidaknya saya paham betul jika usia dini perlu penekanan terhadap teknik dasar bermain bola; passing (mengoper), shooting (menendang), dribbling (mengocek), keeping (menekuk), dan stop ball (menghentikan bola).
Dulu dan sekarang memang memiliki jurang perbedaan yang menganga, dulu saya masih melatih berdasarkan pengalaman yang saya miliki, kini saya bisa mengenalkan bahasa teknik di sepak bola disamping menekankan pentingnya teknik dasar bermain bola itu sendiri. semua berkat coaching clinic, diskusi dengan rekan saya yang baru saja lulus dari sekolah lisensi itu, sampai sharing bersama pelatih-pelatih lain.
Saya belum memiliki lisensi dalam urusan kepelatihan, namun jika ada kesempatan untuk mengambil lisensi, tentu saya tidak akan menyia-nyiakannya. Selama ini saya terbentur biaya. Maklum, kuliah dan kebutuhan lainnya mendesak saya untuk menahan keinginan untuk memiliki lisensi kepelatihan. Terpenting, untuk saat ini saya bisa konsisten membimbing mereka disini.
Latar Belakang
Keseriusan anak-anak untuk belajar sepak bola dengan prinsip yang benar membuat hati saya dan rekan saya terenyuh. Setiap sore anak-anak dengan usia 6-12 tahun berkumpul di lapangan dekat kantor desa. Saya memperhatikan cara mereka mengolah bola satu persatu, dari segi potensi mereka bisa dikatakan memiliki bakat alam karena bisa bermain sepak bola dengan cara otodidak. Walaupun begitu, ada beberapa kekeliruan yang perlu diluruskan dalam mengolah si kulit bundar.
Atas dasar itulah, akhirnya kami mendirikan kursus sepak bola bukan sekolah sepak bola (SSB). Mengingat peserta atau anak-anak yang berpartisipasi belum sebanyak sekarang pada saat itu. Dengan bermodalkan satu bola, kami dipusingkan dengan kelakuan anak-anak yang khas amat memusingkan. Ketidak-kondusifan dilapangan akhirnya membuat kami berpikir lebih ekstra untuk memiliki lebih banyak bola lagi.
Dengan satu bola itu tidak hanya memunculkan kondisi kurang kondusif namun juga ketidakefektifan dalam menerangkan materi. Tak jarang materi passing saja menghabiskan waktu satu jam karena satu bola oleh 15 orang, seharusnya dalam teorinya sesi passing memerlukan satu bola untuk dua orang dengan durasi lima menit saja.
Lambat laun, atas kepedulian orang tua siswa juga akhirnya kami memiliki inventaris bola dan alat-alat berlatih lainnya semacam cones, peluit, hingga gawang statis. Bantuan dari pihak-pihak terkait semacam sponsorship dan PSSI Askab juga amat membantu kami.
Masih teringat jelas, kegetiran ketika akan mengikuti turnamen antar SSB, kami disulitkan dengan tidak adanya alat transportasi untuk mengangkut pemain, akhirnya rekan saya memilih cara yang diluar dugaan, Ia menjual hp-nya demi anak-anak bisa berangkat ke venue. Hal-hal ketika masa sulit seperti itu akhirnya sering kami kenang sebagai pelecut dan motivasi anak-anak.
Karena hari ini mereka tak perlu lagi memiliki kecemasan serupa seperti dulu. Ingin mengikuti turnamen mereka tinggal berlatih tanpa harus memikirkan jadi tidaknya mereka berangkat karena takut tidak ada uang. Kepedulian orang tua murid memang sangat membantu, akhirnya kami saling bahu membahu untuk pengembangan anak usia dini. Bagi para orang tua yang memiliki kendaraan roda empat mereka secara tersadar membantu mengangkut anak-anak ke venue turnamen, sedangkan bagi orang tua siswa yang memiliki kendaraan roda dua mereka juga ikut support dengan menanggalkan pekerjaan dan hadir di lapangan saat anaknya bertanding.
Ini menjadi hal positif bagi perkembangan anak-anak, mengingat dengan support yang luar biasa mereka akan semakin termotivasi. Namun juga ada yang perlu di garis bawahi, ada hal negatif dari dukungan orang tua ini. Tak jarang pemain jadi terlihat kolokan ketika disaksikan langsung oleh keluarga-nya. Biasanya tanpa kehadiran keluarga mereka terlihat dewasa di lapangan namun dengan adanya orang tua mereka seakan menanggung beban. Ada rasa malu yang membuat perfom mereka tidak maksimal.
Melatih anak usia dini itu seperti mendidik siswa Taman Kanak-Kanak (TK). Ada yang bilang kalau Jose Mourinho, Pep Guardiola, Djadjang Nurdjaman, dll belum tentu bisa mengajarkan teknik dasar sepak bola kepada anak-anak. Itu bedanya melatih dengan pelatih. Melatih adalah mengajarkan sepak bola, sedangkan pelatih adalah yang mengurusi pemain pro. Jadi, bisa disimpulkan jika berbicara mana yang lebih vital tentu saja pelatih usia dini merupakan ujung tombak sepak bola.
Tidak akan ada pemain macam Mesut Ozil jika tidak ada yang mengajarkan Ozil teknik dasar bermain bola. Banyak pihak yang mencoba mengusik kepedulian saya terhadap pembinaan usia dini. Dengan pelbagai cara. Termasuk yang mencibir; apa kamu punya lisensi? Tentu akan sangat berbahaya jika ada materi yang salah karena akan terbawa hingga besar.
Tanpa harus menjawab oleh perkataan yang panjang lebar akhirnya anak didik saya menjelaskannya dengan teknik bermain bola yang benar. Nada sumbang semacam itu saya jadikan sebagai motivasi. Mengenai sepak bola akar rumput yang paling penting mereka dibekali teknik dasar bermain yang baik. Untuk skill dan lain hal mereka akan berimprovisasi di sesi game (pertandingan). Lambat laun perkembangan mereka akan terlihat.
Pada akhirnya, yang membedakan kualitas diantara mereka adalah teknik dasar itu sendiri saat bertanding. Pemain yang mengimplementasikan teknik dasar-nya tentu akan terlihat berkualitas ketimbang pemain yang bermain asal-asalan. Karena kembali, syarat utama ‘bisa’ bermain bola itu ya fasih teknik dasar di lapangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H